وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ
إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ
مُسْتَهْزِؤُونَ
Dan apabila mereka berjumpa orang-orang yang beriman, mereka
mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Dan apabila mereka kembali kepada
syaitan-syaitannya, mereka mengatakan: ‘Sungguh kami (tetap) bersama
kalian, hanya saja kami memperolok-olok (mereka)’.
Ayat ini kembali menekankan dan sekaligus mengingatkan bahwa
argument-argumen yang mereka gunakan sebelumnya (ayat 11, 12, dan 13)
adalah bagian dari caranya menipu Allah dan orang-orang beriman (ayat
9). Bagi mereka orang beriman itu adalah adalah orang-orang yang bodoh,
kerjanya hanya merusak di bumi; sementara mereka adalah orang-orang yang
pintar, kerjanya membangun kehidupan manusia; dan karenanya hanya
mereka sajalah yang pantas jadi penguasa, yang pantas mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam; orang beriman cukup di pojok-pojok
masjid yang kerjanya sekedar beribadah kepada Tuhannya.
Supaya cara
mereka ini tidak terbaca, mereka memilih jadi bunglon: apabila bertemu
dengan kawanan orang mukmin, mereka menggunakan berbagai ucapan,
aksesoris dan jaket Islami seraya mengaku sebagai orang beriman. Tetapi
begitu kembali ke habitat aslinya, mereka menunjukkan siapa diri mereka
yang sesungguhnya: “kami hanya memperolok-olok mereka (orang-orang mukmin itu)”.
Artinya, dengan ayat ini, orang mukmin—agar tidak tertipu oleh
mereka—tidak perlu membuntuti ke mana mereka pergi untuk membuktikan
kemunafiqan mereka. Ayat ini sudah merupakan pemberitahuan terbuka
kepada orang-orang beriman agar tidak mempercayai mereka. Sekali percaya
kepada mereka, niscaya akan tertipu selama-lamanya.