Tampilkan postingan dengan label Keluarga Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga Nabi. Tampilkan semua postingan

Fathimah Sang ‘Abîdah (*)

Kisah perjuangan Fathimah adalah kisah penderitaan.
Ia membuka matanya yang pertama ketika keluarga Nabi saw digoncang oleh berbagai musibat. Ia juga menutup matanya pada waktu keluarga Fathimah dihujani musibat, yang seperti terungkap dalam puisinya, 
“Sekiranya musibat itu menimpa siang, siang akan berubah menjadi malam gelita.
Ke manakah ia mengadukan segala deritanya?

Di manakah ia mendapatkan kedamaian di tengah prahara di zamannya?

Di manakah ia melabuhkan hatinya yang hancur?”
Dari ayahnya ia belajar bahwa ia hanya menemukan ketentraman dalam ibadah, dalam zikir dan doa. Ketika tangan Fathimah melepuh karena memutar penggilingan gandum, ia datang menemui ayahnya. Rasulullah saw baru saja menerima banyak tawanan perang. Ia ingin meminta salah seorang di antaranya untuk membantunya bekerja di rumah. 

Ia tidak berhasil menemuinya. “Ketika Nabi saw datang,“ kata Ali yang mengisahkan kejadian itu kepada kita, “Aisyah menceritakan kepadanya tentang kedatangan Fathimah. Beliau mengunjungi kami ketika kami bersiap untuk tidur.

Aku bangkit untuk menyambutnya tetapi beliau berkata: Tetaplah kalian di tempat kalian.

AL-BAQARAH (2) Ayat 14

وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُونَ
Dan apabila mereka berjumpa orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Dan apabila mereka kembali kepada syaitan-syaitannya, mereka mengatakan: ‘Sungguh kami (tetap) bersama kalian, hanya saja kami memperolok-olok (mereka)’.

Ayat ini kembali menekankan dan sekaligus mengingatkan bahwa argument-argumen yang mereka gunakan sebelumnya (ayat 11, 12, dan 13) adalah bagian dari caranya menipu Allah dan orang-orang beriman (ayat 9). Bagi mereka orang beriman itu adalah adalah orang-orang yang bodoh, kerjanya hanya merusak di bumi; sementara mereka adalah orang-orang yang pintar, kerjanya membangun kehidupan manusia; dan karenanya hanya mereka sajalah yang pantas jadi penguasa, yang pantas mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam; orang beriman cukup di pojok-pojok masjid yang kerjanya sekedar beribadah kepada Tuhannya. 

Supaya cara mereka ini tidak terbaca, mereka memilih jadi bunglon: apabila bertemu dengan kawanan orang mukmin, mereka menggunakan berbagai ucapan, aksesoris dan jaket Islami seraya mengaku sebagai orang beriman. Tetapi begitu kembali ke habitat aslinya, mereka menunjukkan siapa diri mereka yang sesungguhnya: “kami hanya memperolok-olok mereka (orang-orang mukmin itu)”. Artinya, dengan ayat ini, orang mukmin—agar tidak tertipu oleh mereka—tidak perlu membuntuti ke mana mereka pergi untuk membuktikan kemunafiqan mereka. Ayat ini sudah merupakan pemberitahuan terbuka kepada orang-orang beriman agar tidak mempercayai mereka. Sekali percaya kepada mereka, niscaya akan tertipu selama-lamanya.

AL-BAQARAH (2) Ayat 13


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَكِن لاَّ يَعْلَمُون
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana manusia (lain) beriman", mereka menjawab: "Pantaskah kami beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?" Ketahuilah, sungguh merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui.

Orang yang menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kebenaran, akan menilai orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai tidak benar. Di sinilah berawalnya egoisme (bangga diri) dan fanatisme (bangga kelompok). Kalau begitu, lalu apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? 

Tolak ukur kebenaran adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah suatu entitas yang berdiri sendiri, yang tidak membutuhkan yang lain. Kebenaran (al-Haq) itu tunggal (ahad), universal (kulli), sederhana (basith) dan meliputi (muhith). Maka Kebenaran itu tidak pernah tidak ada, karena tidak membutuhkan syarat apapun demi keberadaannya. Untuk itu, Kebenaran tidak perlu dicari, pun tidak perlu ditemukan. 

Kebenaran hanya perlu diketahui (dengan istrumen yang bernama ‘ilm atau ilmu), untuk selanjutnya disadari (dengan perangkat yang disebut syu’ur) dan dirasakan (dengan alat yang disebut dzauq). Rangkaian inilah nantinya yang membawa manusia kepada iman dan yaqin. Semua runtutan yang membawa kepada iman dan yaqin ini tidak bisa diikuti oleh orang kafir dan munafiq, karena Allah telah menutup qalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka dengan sumbat (lihat kembali ayat 7). Yang pantas bagi mereka bukan iman bukan yaqin, tapi azab yang besar (2:7) dan azab yang pedih (2:10). Itu sebabnya mereka balik menuding orang beriman sebagai orang bodoh karena tolak ukurnya adalah dirinya sendiri.

Zainab Jabal Al-Shabr - Gunung Ketegaran


Episode 1

Saudaraku, 
Lantai yang kita duduki, gedung yang kita diami, kota yang  kita huni, terletak di atas kendaraan raksasa, yang bernama bumi. Setiap kali kita menghela nafas, bumi ini bergerak  terus menerus bahkan setelah satu saat nafas kita berhenti. Kendaraan kita melaju dengan cepat  mengitari matahari, menempuh  jarak jutaan kilometer. Kita sudah berulang kali dibawa berputar. Sampailah kita kepada hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini.  Malam Asyura 1433 Hijriah.

Marilah kita putar balik arah kendaraan ini. Kita kembali kepada 100 tahun yang lalu, seribu seratus tahun yang lalu, seribu  dua ratus tahun yang lalu, seribu tiga ratus tahun yang lalu, seribu empat ratus tahun yang lalu, dan marilah kita berhenti pada ...1417 tahun yang lalu. Di manakah kita berada sekarang?

Kita berada di Madinah al-Munawwarah.  Pusatkan perhatianmu, arahkan penglihatanmu, kepada rumah kecil yang berdampingan dengan Masjid Nabawi.  Dengar, dengar, tangis bayi yang menyobekkan keheningan langit Madinah.  Dengar, dengar, zikir dan pujian kepada Allah yang Mahakasih  mengiringi tangis pertama  sang bayi. Bayi itu cantik sekali, seakan menyemburkan cahaya indah ke sekitarnya; berpadu dengan lautan cahaya di sekelilingnya.  Rumah kecil itu temerang seperti surga di bumi.

“Siapakah namanya, Ya Abal Hasan?”  dari sunggingan senyumnya keluar  kalimat yang indah.  Itulah suara qurrata  ‘ayni Rasulillah, permata hati Utusan Allah. Itulah suara alhawra al-insiyyah, bidadari di tengah-tengah manusia.

“Aku tidak mau mendahului Rasulullah saw  untuk menamainya. Marilah kita bersabar menunggu  beliau kembali dari perjalanannya.”  Mata bayi itu terbuka untuk pertama kalinya.  Penduduk bumi yang pertama dilihatnya adalah empat cahaya dunia, manusia-manusia pilihan Tuhan, mereka yang kaki-kakinya menapak bumi dan  arwahnya menjulang ke langit.  Fathimah al-Zahra, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Dua orang penghulu pemuda surga, Sayyiday syababi ahlil jannati ajma’in, Al-Hasan dan Al-Husain.


AL-BAQARAH (2) Ayat 12

أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِن لاَّ يَشْعُرُونَ
Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, tetapi mereka tidak menyadari.

Setelah di ayat 8, ini adalah ayat kedua dimana Allah melakukan penyangkalan terhadap pengakuan subyektif orang munafiq. Di ayat 11 mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan bukan pengrusakan tapi pembangunan. Mereka mengakui bahwa perbuatan mereka itu adalah amalan orang-orang shaleh. 

Tetapi Allah kemudian menolak pengakuan mereka dengan mengatakan: Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, tetapi mereka tidak menyadari. Penggunaan kata “ketahuilah” di awal ayat hendak memberi kesan kepada penyimak bahwa tidak perlu menunggu hingga kejadian al-fāsad (decay, rottenness, decomposition, disintegration, corruption, depravation, deterioration, kerusakan)—sebagai akibat dari perbuatan tangan mereka—benar-benar terwujud baru percaya dan menyadari. Al-Qur’an adalah PETUNJUK (hudan), yang tidak saja menuntun manusia kepada kebenaran, tapi juga menuntunnya ke masa depan, agar manusia tidak menyesal di kemudian hari. 

Sehingga, berkenaan dengan masa depan, karakter mendasar yang dimiliki Kita Suci ini adalah sifat preventifnya. Al-Qur’an memprotek manusia dari satu generasi hingga berpuluh-puluh bahkan beratus generasi berikutnya. Al-Qur’an menghindarkan manusia dari menerima derita di dunia hingga siksa yang pedih di akhirat. Maka jikalau manusia dan kemanusiaan kini dilanda penderitaan dan beban social yang berat, itu karena mereka menolak keberlakuan total al-Qur’an sebagai the way of life, di tingkat individu dan wilayah sosial.

AL-BAQARAH (2) Ayat 11

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُون
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian merusak di bumi,” mereka menjawab: "Sesungguhnya kami (adalah) orang yang membangun."

Setiap jiwa yang sakit pasti tercermin pada perbuatannya yang juga sakit, perbuatan yang merugikan manusia dan kemanusiaan, dalam jangka pendek ataupun dalam jangka panjang. Dan tanda sakit jiwa mereka berikutnya ialah saat mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbuatan bajik, memperbaiki masyarakat, membangun peradaban besar, dan sebagainya, walaupun secara pribadi mereka tahu persis bahwa semua yang mereka lakukan itu adalah demi memenuhi hasrat ego mereka semata.

Di sinilah manusia (masyarakat umum) terjebak ke dalam pusaran air yang tak bertepi, terperangkap ke dalam lorong gelap yang tak berujung, seperti benang kusut yang tak tahu ujung pangkalnya, tak tahu cara keluarnya bagaimana. Karena mereka mengagumi pemimpinnya, tapi pada saat yang sama mereka tidak tahu bahwa pemimpin yang mereka kagumi itulah yang menjadi biang keladi segala malapetaka ini. 

Mereka turut melestarikan system yang digagaskan oleh pemimpin mereka, tapi pada saat yang sama mereka tidak menyadari bahwa system itulah yang mempeluangi lahirnya kesenjangan social dan ketidakadilan. Sistem itu dibangun atas dasar يَكْذِبُونَ (kedustaan) dan يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا  (menipu Allah dan orang beriman).

AL-BAQARAH (2) Ayat 10


فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Di dalam qalbu mereka ada penyakit, lalu Allah menambah (terus) penyakitnya; dan bagi mereka (merasakan) siksa yang pedih, disebabkan apa yang mereka dustakan.

Ketidaklurusan garis antara tiga titik (perbuatan-perkataan-jiwa) adalah penyakit yang bermula pada jiwa karena tidak ada perbuatan bertujuan yang tidak bermula dari jiwa—seperti telah dibahas sebelumnya (ayat 8 poin 4). Disebut مَّرَضٌ (disease, sickness, penyakit) karena sikap seperti ini bertentangan dengan sifat bawaan jiwa yang selalu ingin menggapai “yang benar”. Disebut penyakit apabila membuat sesuatu keluar dari kondisi normalnya. Semakin jauh sesuatu itu keluar dari kondisi normalnya semakin akut penyakitnya.

Jiwa adalah ‘singgasana’ Allah (Sang Kebenaran Sejati) dalam diri manusia. Atas dasar inilah sehingga hanya manusia yang ‘berani’ menerima AMANAH setelah sebelumnya ditolak oleh langit, bumi dan gunung (33:72). Maka apabila mulut mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta (yang sudah pasti diketahui oleh jiwa), jiwa akan merana. Semakin sering keadaan seperti ini—yaitu berdusta—terjadi semakin membuat jiwa menderita. Penyakitnya pun semakin akumulatif: lalu Allah menambah (terus) penyakitnya. Dan itu semua terjadi “… disebabkan apa yang mereka dustakan.” 

AL-BAQARAH (2) Ayat 9


يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka (bermaksud) menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal tiadalah yang mereka tipu kecuali dirinya sendiri, cuma mereka tidak menyadari.

Maksud yang mereka pendam di benaknya inilah yang menyebabkan golongan manusia jenis ketiga ini mendapat catatan penting dari al-Qur’an. Karena, sejujurnya, kebohongan bisa kita temukan dimana-mana dan di setiap saat. 

Orang yang mendua antara perkataan dan hatinya dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Tetapi manusia yang dibincang oleh ayat 8 hingga ayat 20, lain daripada yang lain. Al-Qur’an di berbagai kesempatan menyorot mereka secara vulgar dan dengan penggambaran yang telanjang. Bahkan Kitab Suci ini membahasnya secara lengkap di satu surat, yang diberi nama Surat al-Munafiqun (63).

Coba perhatikan betapa sangarnya “maksud” yang mereka pendam itu: hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka mau tipu bukan istri, bukan suami, bukan teman, bukan majikannya, tetapi Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui. Hebat sekali. Artinya, kalau Allah saja mereka berani tipu, apalagi kalau cuma sesamanya manusia. Bisa dipastikan, proyek mereka itu pasti bukan proyek kecil-kecilan.