أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِن لاَّ يَشْعُرُونَ
Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, tetapi mereka tidak menyadari.
Dengan karakternya yang bersifat preventif dan futuristic itu, maka al-Qur’an tidak harus tunduk kepada kritik-kritik dan pertanyaan-pertanyaan saintifik. Asumsi dasarnya, sains adalah ibarat sebuah bangunan yang tak pernah selesai. Setiap saintis yang datang adalah ibarat seorang tukang batu yang meletakkan satu atau beberapa buah batu bata saja sebagai kelanjutan dari pasangan batu bata yang sudah ada yang juga diletakkan oleh berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus, tukang batu sebelumnya. Saintis, lewat bantuan pelbagai alat analisis yang mereka miliki, bisa menentukan satu bilngan tertentu yang akan terjadi di masa depan; tetapi sebelum kejadian itu benar-benar terjadi di masa depan yang diasumsikan, maka bilangan itu tak lebih dari ‘angka hipotesis’ belaka saja. Sebab nilainya sebagai sains nanti akan diterima manakala sudah terverifikasi secara empirik.
Wallahu A’lam Bishshawab
Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, tetapi mereka tidak menyadari.
Setelah di ayat 8, ini adalah ayat kedua dimana Allah melakukan
penyangkalan terhadap pengakuan subyektif orang munafiq. Di ayat 11
mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan bukan pengrusakan tapi
pembangunan. Mereka mengakui bahwa perbuatan mereka itu adalah amalan
orang-orang shaleh.
Tetapi Allah kemudian menolak pengakuan mereka
dengan mengatakan: Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang merusak, tetapi mereka tidak menyadari. Penggunaan kata “ketahuilah” di awal ayat hendak memberi kesan kepada penyimak bahwa tidak perlu menunggu hingga kejadian al-fāsad (decay, rottenness, decomposition, disintegration, corruption, depravation, deterioration, kerusakan)—sebagai akibat dari perbuatan tangan mereka—benar-benar terwujud baru percaya dan menyadari. Al-Qur’an adalah PETUNJUK (hudan),
yang tidak saja menuntun manusia kepada kebenaran, tapi juga
menuntunnya ke masa depan, agar manusia tidak menyesal di kemudian hari.
Sehingga, berkenaan dengan masa depan, karakter mendasar yang dimiliki
Kita Suci ini adalah sifat preventifnya. Al-Qur’an memprotek manusia
dari satu generasi hingga berpuluh-puluh bahkan beratus generasi
berikutnya. Al-Qur’an menghindarkan manusia dari menerima derita di
dunia hingga siksa yang pedih di akhirat. Maka jikalau manusia dan
kemanusiaan kini dilanda penderitaan dan beban social yang berat, itu
karena mereka menolak keberlakuan total al-Qur’an sebagai the way of life, di tingkat individu dan wilayah sosial.
Dengan karakternya yang bersifat preventif dan futuristic itu, maka al-Qur’an tidak harus tunduk kepada kritik-kritik dan pertanyaan-pertanyaan saintifik. Asumsi dasarnya, sains adalah ibarat sebuah bangunan yang tak pernah selesai. Setiap saintis yang datang adalah ibarat seorang tukang batu yang meletakkan satu atau beberapa buah batu bata saja sebagai kelanjutan dari pasangan batu bata yang sudah ada yang juga diletakkan oleh berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus, tukang batu sebelumnya. Saintis, lewat bantuan pelbagai alat analisis yang mereka miliki, bisa menentukan satu bilngan tertentu yang akan terjadi di masa depan; tetapi sebelum kejadian itu benar-benar terjadi di masa depan yang diasumsikan, maka bilangan itu tak lebih dari ‘angka hipotesis’ belaka saja. Sebab nilainya sebagai sains nanti akan diterima manakala sudah terverifikasi secara empirik.
Oleh karena
itu bagaimana mungkin sains yang tak pernah tamat dan tak pernah
‘mencapai’ masa depan itu mengkritisi Kita Suci yang sudah tamat dan
telah mencapai masa depan. Kata pepatah: ibarat pungguk merindukan
bulan. Terbukti, hingga kini tak satupun temuan besar sains yang
bertentangan dengan al-Qur’an.
Akhir ayat ini hampir sama dengan akhir ayat 9. Sama-sama berbuntut: “mereka tidak menyadari”.
Kata “mereka” di sini tidak secara spesifik ditujukan kepada pelaku
perbuatan tersebut—bahkan boleh jadi pelakunya sendiri menyadari akan
risiko besar dari tindakan tersebut cuma mereka mengabaikannya karena
telah terbutakan oleh syahwat kekuasaan duniawi. Maka kata “mereka” di
ayat ini bisa berarti siapa saja, manusia mana saja, hidup di zaman apa
saja, yang tidak bisa mengenal mereka (para pelaku kerusakan itu) dengan
benar. “Mereka” adalah orang-orang yang tertipu oleh ‘sulap’ retorika
mereka.
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menakjubkan(hati)mu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya (bahwa dirinya adalah bagian dari para nabi, shiddiqyn, syuhada, dan orang shaleh), padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (2:204)
Tujuan mereka yang sesungguhnya ialah memadamkan cahaya (agama) Allah: “Mereka
bermaksud memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut (dengan
kekutan retorika dan informatika) mereka, sementara Allah tetap
menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir itu benci.” (61:8)
Saudaraku,
Berhati-hatilah saat akan melakukan suatu perbuatan. Karena boleh
jadi perbuatan itu Anda anggap mendatangkan maslahat, padahal sebetulnya
justru akan mendatangkan mafsadat. Maka sebelum bertindak, ambillah
al-Qur’an dan terjemahannya, cari tema atau subyek perbuatan yang Anda
akan lakukan dengan menggunakan buku indeks, pelajarilah ayat-ayat yang
berkenaan dengan itu. Kemudian berlapang dadalah menerima apa kata Kitab
Suci.
Komentar dari Abdul Hafid Paronda
Pada
komentar untuk ayat 11 diutarakan bhw "mereka" telah melakukan "Trilogi
Dusta" (epistemologis, ontologis dan aksiologis) yg berdampak pada
"perusakan" sistematis dan sistemik (antara lain bdg LH)
Ternyata dusta dan ketidaksadaran mereka pun mengalami "tumbuh kembang" secara berkesinambungan...yang dipertegas kembali oleh Allah swt. dalam QS.02:12 di atas.
KETIDAKSADARAN Karena DUSTA KOLOSAL
Memang bukan pada tempatnya memperhadap-hadapkan Sains dengan Al Qur’an. Setiap informasi saintik diolah dengan pendekatan induktif yg sangat parsial dan terbatas, sementara semua informasi Al Qur’an adalah ramuan Maha Komplit dgn grand deduksi yg super komprehensif dan fully holistic. Salah satu fakta tak terbantah kebenaran informasi Al Qur’an adalah eksistensi saintis itu sendiri, sementara contoh keterbatasan saintis adalah ketidakmampuan mengukur secara akurat fenomena alam semesta yang digambarkan dalam Al Qur’an. Untuk merumuskan strategi mitigasi bencana saja, para saintis terjebak dalam probabilitas cuaca dan iklim yg berlansung tanpa akhir.
Tapi memang kelompok yang satu ini (“Mereka”- perusak itu) hadir untuk melakukan “Dusta Kolosal” dengan mempertaruhkan segenap eksistensi, peran dan fungsi2 strategisnya. Mereka akan selalu merancang dan memperbaharui manajemen, mengembangkan jaringan (networking) dan menguatkan sinergi untuk ‘mewujudkan’ mega proyeknya itu (“memadamkan cahaya Ilahi”).
Dalam kehidupan sehari-hari, maksud yg demikian mmg biasa ditunjukkan dgn “menyerang langsung” The Big Boss untuk menguasai anak buahnya. Jd demi menyeret seluruh manusia kpd kelompoknya, maka mereka melakukan manuver raksasa dgn “mendustakan”- menegasikan kebenaran Tuhan (mustahil berhasil, minimal pencitraan). Sama halnya ketika penentang Nabi mendeklarasikan bhw beliau “gila” (al majnun) – karena mereka (org kafir Quraisy) ingin mencitrakan diri sbg org waras dan benar sehingga pantas diikuti ajakannya (padahal sebaliknya).
Yang perlu digarisbawahi adalah strategi “driving force” dan “provider” mereka, yang sebenarnya “tahu diri” kalau tidak memiliki kemampuan untuk menaklukkan kebenaran Tuhan. Hanya saja, dengan trik seperti itu, maka mereka membangun “mindset” dan menebar nuansa yang memudahkan “penggiringan” manusia kebanyakan kpd kelompok dan ideologinya. Mereka merefleksikan sebagian dari karakter Iblis – yang sebenarnya tahu kalau Tuhan itu benar, tapi tidak sudi menaatinya. Di sini menjadi sangat jelas bahwa satu – satunya cara untuk mengamankan diri dari ulah dan strategi mereka adalah dengan “menjadikan Al Qur’an sbg petunjuk”, memahami dan melaksanakannya secara konsisten.
Selain itu, orang yang mereka rekrut dengan ‘sukses’ pastilah korban pencitraan yg mustahil memahami kebenaran. Apalagi upaya untuk memahami kebenaran mensyaratkan aktivasi kesadaran berjenjang – yang sama sekali tidak ada pada diri “mereka” itu. Karena itu harus dimiliki “kesadaran menyeluruh”- yakni dengan menyerap kandungan Al Qur’an sebagai petunjuk Ilahi, agar tidak menjadi korban dusta dan penipuan mereka.
Ternyata dusta dan ketidaksadaran mereka pun mengalami "tumbuh kembang" secara berkesinambungan...yang dipertegas kembali oleh Allah swt. dalam QS.02:12 di atas.
KETIDAKSADARAN Karena DUSTA KOLOSAL
Memang bukan pada tempatnya memperhadap-hadapkan Sains dengan Al Qur’an. Setiap informasi saintik diolah dengan pendekatan induktif yg sangat parsial dan terbatas, sementara semua informasi Al Qur’an adalah ramuan Maha Komplit dgn grand deduksi yg super komprehensif dan fully holistic. Salah satu fakta tak terbantah kebenaran informasi Al Qur’an adalah eksistensi saintis itu sendiri, sementara contoh keterbatasan saintis adalah ketidakmampuan mengukur secara akurat fenomena alam semesta yang digambarkan dalam Al Qur’an. Untuk merumuskan strategi mitigasi bencana saja, para saintis terjebak dalam probabilitas cuaca dan iklim yg berlansung tanpa akhir.
Tapi memang kelompok yang satu ini (“Mereka”- perusak itu) hadir untuk melakukan “Dusta Kolosal” dengan mempertaruhkan segenap eksistensi, peran dan fungsi2 strategisnya. Mereka akan selalu merancang dan memperbaharui manajemen, mengembangkan jaringan (networking) dan menguatkan sinergi untuk ‘mewujudkan’ mega proyeknya itu (“memadamkan cahaya Ilahi”).
Dalam kehidupan sehari-hari, maksud yg demikian mmg biasa ditunjukkan dgn “menyerang langsung” The Big Boss untuk menguasai anak buahnya. Jd demi menyeret seluruh manusia kpd kelompoknya, maka mereka melakukan manuver raksasa dgn “mendustakan”- menegasikan kebenaran Tuhan (mustahil berhasil, minimal pencitraan). Sama halnya ketika penentang Nabi mendeklarasikan bhw beliau “gila” (al majnun) – karena mereka (org kafir Quraisy) ingin mencitrakan diri sbg org waras dan benar sehingga pantas diikuti ajakannya (padahal sebaliknya).
Yang perlu digarisbawahi adalah strategi “driving force” dan “provider” mereka, yang sebenarnya “tahu diri” kalau tidak memiliki kemampuan untuk menaklukkan kebenaran Tuhan. Hanya saja, dengan trik seperti itu, maka mereka membangun “mindset” dan menebar nuansa yang memudahkan “penggiringan” manusia kebanyakan kpd kelompok dan ideologinya. Mereka merefleksikan sebagian dari karakter Iblis – yang sebenarnya tahu kalau Tuhan itu benar, tapi tidak sudi menaatinya. Di sini menjadi sangat jelas bahwa satu – satunya cara untuk mengamankan diri dari ulah dan strategi mereka adalah dengan “menjadikan Al Qur’an sbg petunjuk”, memahami dan melaksanakannya secara konsisten.
Selain itu, orang yang mereka rekrut dengan ‘sukses’ pastilah korban pencitraan yg mustahil memahami kebenaran. Apalagi upaya untuk memahami kebenaran mensyaratkan aktivasi kesadaran berjenjang – yang sama sekali tidak ada pada diri “mereka” itu. Karena itu harus dimiliki “kesadaran menyeluruh”- yakni dengan menyerap kandungan Al Qur’an sebagai petunjuk Ilahi, agar tidak menjadi korban dusta dan penipuan mereka.
Wallahu A’lam Bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar