وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُون
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian merusak di bumi,” mereka menjawab: "Sesungguhnya kami (adalah) orang yang membangun."
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian merusak di bumi,” mereka menjawab: "Sesungguhnya kami (adalah) orang yang membangun."
Setiap jiwa yang sakit pasti tercermin pada perbuatannya yang
juga sakit, perbuatan yang merugikan manusia dan kemanusiaan, dalam
jangka pendek ataupun dalam jangka panjang. Dan tanda sakit jiwa mereka
berikutnya ialah saat mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan
adalah perbuatan bajik, memperbaiki masyarakat, membangun peradaban
besar, dan sebagainya, walaupun secara pribadi mereka tahu persis bahwa
semua yang mereka lakukan itu adalah demi memenuhi hasrat ego mereka
semata.
Di sinilah manusia (masyarakat umum) terjebak ke dalam pusaran
air yang tak bertepi, terperangkap ke dalam lorong gelap yang tak
berujung, seperti benang kusut yang tak tahu ujung pangkalnya, tak tahu
cara keluarnya bagaimana. Karena mereka mengagumi pemimpinnya, tapi pada
saat yang sama mereka tidak tahu bahwa pemimpin yang mereka kagumi
itulah yang menjadi biang keladi segala malapetaka ini.
Mereka turut
melestarikan system yang digagaskan oleh pemimpin mereka, tapi pada saat
yang sama mereka tidak menyadari bahwa system itulah yang mempeluangi
lahirnya kesenjangan social dan ketidakadilan. Sistem itu dibangun atas
dasar يَكْذِبُونَ (kedustaan) dan يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا (menipu Allah dan orang beriman).
Kata تُفْسِدُواْ (tufsiduw, kalian merusak) berasal dari kata fa-sa-da atau fa-su-da yang artinya rusak; maka lawannya ialah sha-lu-ha, yang artinya baik; kemudian bentuk mashdar-nya ialah فسادا (fasādan) yang artinya kerusakan. Bentuk aktifnya: af-sa-da (merusak), lawannya ash-la-ha (memperbaiki, membangun, beramal shaleh). Dengan demikian, فسادا (fasādan), kerusakan,
bukanlah sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Juga bukan karena
bencana alam. Melainkan terjadi karena ada pelaku yang melakukan
perbuatan af-sa-da (merusak). Simaklah ucapan Allah berikut ini:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَArtinya: “Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (30:41)
Karena kerusakan yang dimaksud di sini cenderung yang bersifat
sistematis, maka al-Qur’an sering menunjuk para pemimpin yang tidak
benar sebagai pelakunya.
“Dan Firaun yang mempunyai pasak-pasak (bala tentara yang kuat), yang (karena) berbuat sewenang-wenang dalam negara, sehingga mereka banyak merusak di dalam (negara itu).” (89:10-12)
Dan supaya perbuatan kesewenang-wenangan mereka tidak
terendus oleh rakyat, maka caranya, tokoh lain yang datang mengkoreksi
mereka, secara licik dituduh sebaliknya.
“Dan Firaun berkata (kepada pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan biarkan ia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya (saja), karena sungguh aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di bumi’.” (40:26)
Itu sebabnya, karena فسادا (fasādan) atau kerusakan ini adalah akibat perbuatan tangan manusia sendiri, maka Allah tidak menyenanginya: “… Dan Allah tidak mencintai orang yang melakukan kerusakan.” (2:205) Sehingga Allah kemudian melarangnya berkali-kali (2:11, 7:56 dan 7:85).
Perbuatan al-fasād (kerusakan), karena daya rusaknya yang begitu besar, sering disejajarkan Allah dengan perbuatan mengingkari ‘janji’ (‘ahd) dngan Allah dan memutus tali silaturrahim.
“Orang-orang yang mengingkari janji (dengan) Allah setelah mereka meneguhkannya (berikrar untuk mematuhinya) dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan (yaitu tali silaturrahim) dan mengadakan kerusakan di bumi, mereka itulah orang yang Allah kutuk dan bagi mereka (disiapkan) tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (13:25)
Mengumpulkan ketiganya menjadi satu rangkaian ayat, sangat bisa difahami
sebab tema utama al-Qur’an sebetulnya memang Cuma tiga macam: Tuhan,
manusia dan alam. Ketiganya adalah satu kesatuan; yang satu tidak bisa
dipisahkan dari yang lain. Maka kalau melanggar yang satu, sama dengan
melanggar yang lainnya.
Pengakuan palsu mereka bahwa "Sesungguhnya kami (adalah) orang yang membangun," tertolak
oleh fakta yang menunjukkan kebalikannya. Pengakuan itu tidak lebih
dari kampanye murahan untuk mengecoh masyarakat. Dan agar massa tetap
memilih, mencintai, dan mempertahankannya. Agar buku sejarah tetap di
tangannya. Agar tinta yang mereka goreskan di sana tetap berwarna emas.
Penalaran yang ditawarkan al-Qur’an sangat gampang dicerna, oleh orang
yang paling awam sekalipun. Renungkanlah ayat ini:
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, kalau (seandainya) penduduknya مُصْلِحُون (orang-orang shaleh).” (11:117)
Artinya, dengan binasanya peradaban-peradaban,
kebudayaan-kebudayaan, kota-kota, dan negara-negara yang telah mereka
bangun bersusash payah, menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang yang
shaleh. Kalau kita tetap mengasumsikan mereka itu sebagai orang-orang
shaleh, lalu apa pandangan kita tentang ayat ini:
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis) di dalam az-Dzikr (al-Qur’an di Lohmahfuz), bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (21:105)
Saudaraku,
Diantara ciri orang munafiq ialah dengan tidak mau menghentikan
rangkaian kebohongan mereka. Jelas-jelas kerusakan, masih disebut
kebajikan. Kebohongan terdahulu selalu ditutupi oleh kebohongan
berikutnya. Begitu seterusnya hingga tak pernah habis-habisnya, hingga
menyita berjilid-jilid buku untuk menuliskannya. Cara memutus rangkaian
itu cuma satu: jujur pada diri sendiri, jujur kepada masyarakat, jujur
pada sejarah, jujur kepada Tuhan.
https://www.facebook.com/groups/176902422325863/doc/179404168742355/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar