فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Di dalam qalbu mereka ada penyakit, lalu Allah menambah (terus) penyakitnya; dan bagi mereka (merasakan) siksa yang pedih, disebabkan apa yang mereka dustakan.
Ketidaklurusan garis antara tiga titik (perbuatan-perkataan-jiwa)
adalah penyakit yang bermula pada jiwa karena tidak ada perbuatan
bertujuan yang tidak bermula dari jiwa—seperti telah dibahas sebelumnya
(ayat 8 poin 4). Disebut مَّرَضٌ (disease, sickness, penyakit)
karena sikap seperti ini bertentangan dengan sifat bawaan jiwa yang
selalu ingin menggapai “yang benar”. Disebut penyakit apabila membuat
sesuatu keluar dari kondisi normalnya. Semakin jauh sesuatu itu keluar
dari kondisi normalnya semakin akut penyakitnya.
Jiwa adalah ‘singgasana’ Allah (Sang Kebenaran Sejati) dalam diri
manusia. Atas dasar inilah sehingga hanya manusia yang ‘berani’ menerima
AMANAH setelah sebelumnya ditolak oleh langit, bumi dan gunung (33:72).
Maka apabila mulut mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta (yang
sudah pasti diketahui oleh jiwa), jiwa akan merana. Semakin sering
keadaan seperti ini—yaitu berdusta—terjadi semakin membuat jiwa
menderita. Penyakitnya pun semakin akumulatif: lalu Allah menambah (terus) penyakitnya. Dan itu semua terjadi “… disebabkan apa yang mereka dustakan.”
Pada zaman nabi, tiap kali satu surat (dari al-Qur’an) turun, tiap
itu juga bertambah penyakit jiwanya karena menganggap “proyek besar”
mereka kian terancam.
“Dan adapun orang-orang yang di dalam qalbu mereka ada penyakit, maka dengan (turunnya) surat itu bertambah (pula) kotoran (jiwa) mereka, di samping kotoran (yang telah ada sebelumnya), hingga mereka mati dalam keadaan kafir.” (9:125)
Ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa paparan al-Qur’an mengenai “Mereka (yang bermaksud) menipu Allah dan orang-orang yang beriman”
(2:9) bukanlah pembohong sembarangan. Karena yang mereka bidik adalah
(kebenaran) Kitab Suci. Yang berarti niat mereka adalah pengrusakan
agama secara sistematis.
“… sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qalbu yang (ada) di dalam dada.” (22:46)
Di titik inilah, mereka hanya melihat agama tidak lebih dari sekedar tipuan belaka saja. “(Ingatlah),
tatkala orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam
qalbunya berkata: ‘Mereka (orang-orang mukmin itu) ditipu oleh agamanya’...”
(8:49)
Agar proyek mereka berhasil, agar Nabi tidak diterima oleh
masyarakatnya, dan agar merekalah yang kelak menjadi penguasa di masa
depan, mereka mencoba membalik fakta dengan mengatakan:
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kita melainkan tipu daya’.” (33:12)
Informasi dari akhirat mengindikasikan bahwa keberhasilan
orang-orang munafik itu bisa diukur dari semakin banyaknya umat yang
tidak mengenal lagi imamnya—[catatan: sengaja kata “imam” dan “khalifah”
(seperti tertulis dalam al-Qur’an) tidak diterjemahkan menjadi
(misalnya) “pemimpin” karena yang terakhir ini mempunyai jangkauan makna
yang terlalu luas sehingga bisa mengaburkan makna yang sesungguhnya].
Karenanya kebutaan hati menjadi perkara yang besar kelak di akhirat.
Karena kebangkitan di akhirat merupakan cerminan pergulatan jiwa mencari
atau menentang kebenaran di dunia. Dan orang yang terprovokasi,
teragitasi, dan tertipu oleh kaum munafiqin ini kelak tidak mampu lagi
mengenal kebenaran dan imam mereka yang sesungguhnya.
”Pada hari itu Kami panggil tiap umat dengan imamnya (masing-masing); dan barang siapa yang diberikan kitab amalnya di tangan kanannya maka merekalah (yang) akan membaca kitabnya (tersebut), dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini (sehingga tidak mengenal imamnya yang benar), niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang lurus).” (17:71-72)
Al-Qur’an kemudian menggambarkan betapa di antara mereka sendiri
terjadi umpat-mengumpat setelah menyadari bahwa apa yang dulu (di dunia)
mereka anggap sebagai imam ternyata palsu belaka.
“Ingatlah tatkala orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti(nya), karena mereka (sudah) melihat azab; sementara (pada saat itu) segala bentuk hubungan diantara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: ‘Seandainya kami ada kesempatan (sekali lagi kembali ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka (hari ini) berlepas diri dari kami.’ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya (hanya) menjadi sesalan (belaka) bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka.” (2:166-167)
Ayat ini sekaligus
memperlihatkan betapa urgennya seorang imam dalam agama. Dan puncak
kesuksesan ‘proyek besar’ orang munafiq adalah ketika berhasil mengecoh
umat dalam hal yang satu ini.
Lalu apakah sifat nifaq (penyakit orang munafiq) tidak
bisa disembuhkan? Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Hanya saja
cara satu-satunya untuk menyembuhkan penyakit nifaq ialah dengan bertobat, dengan kembali kepada kebenaran.
“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (19:60) Firman Allah di tempat lain: “Dan bersegeralah kalian (kembali) kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan (hanya) untuk orang-orang yang bertakwa.” (3:133)Silahkan garis bawahi potongan ayat ini: yang disediakan (hanya) untuk orang-orang yang bertakwa. Artinya, keselamatan hanya bisa kita raih apabila kembali bergabung dengan manusia golongan pertama, golongan orang bertaqwa (2:2-5), yaitu golongan yang berada di shiratal-ladzyna an’amta ‘alayhim (1:7), golongannya para nabi, shiddiqyn, syuhada, dan orang-orang saleh.
Saudaraku,
hāsibuw anfusakum qabla antuhāsabu
(hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab). Caranya: berhentilah
mencari-cari ‘penyakit’ (kekurangan) orang lain. Renungkanlah secara
mendalam, carilah satu persatu, jangan-jangan kita sendiri adalah bagian
dari orang-orang yang dibicarakan di ayat ini. Kalau ada, jujurlah
mengakuinya, dan mintalah kepada Allah agar Dia berkenan membantu
menyembuhkannya. Karena Dialah Yang Maha Penyembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar