Zainab Jabal Al-Shabr - Gunung Ketegaran


Episode 1

Saudaraku, 
Lantai yang kita duduki, gedung yang kita diami, kota yang  kita huni, terletak di atas kendaraan raksasa, yang bernama bumi. Setiap kali kita menghela nafas, bumi ini bergerak  terus menerus bahkan setelah satu saat nafas kita berhenti. Kendaraan kita melaju dengan cepat  mengitari matahari, menempuh  jarak jutaan kilometer. Kita sudah berulang kali dibawa berputar. Sampailah kita kepada hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini.  Malam Asyura 1433 Hijriah.

Marilah kita putar balik arah kendaraan ini. Kita kembali kepada 100 tahun yang lalu, seribu seratus tahun yang lalu, seribu  dua ratus tahun yang lalu, seribu tiga ratus tahun yang lalu, seribu empat ratus tahun yang lalu, dan marilah kita berhenti pada ...1417 tahun yang lalu. Di manakah kita berada sekarang?

Kita berada di Madinah al-Munawwarah.  Pusatkan perhatianmu, arahkan penglihatanmu, kepada rumah kecil yang berdampingan dengan Masjid Nabawi.  Dengar, dengar, tangis bayi yang menyobekkan keheningan langit Madinah.  Dengar, dengar, zikir dan pujian kepada Allah yang Mahakasih  mengiringi tangis pertama  sang bayi. Bayi itu cantik sekali, seakan menyemburkan cahaya indah ke sekitarnya; berpadu dengan lautan cahaya di sekelilingnya.  Rumah kecil itu temerang seperti surga di bumi.

“Siapakah namanya, Ya Abal Hasan?”  dari sunggingan senyumnya keluar  kalimat yang indah.  Itulah suara qurrata  ‘ayni Rasulillah, permata hati Utusan Allah. Itulah suara alhawra al-insiyyah, bidadari di tengah-tengah manusia.

“Aku tidak mau mendahului Rasulullah saw  untuk menamainya. Marilah kita bersabar menunggu  beliau kembali dari perjalanannya.”  Mata bayi itu terbuka untuk pertama kalinya.  Penduduk bumi yang pertama dilihatnya adalah empat cahaya dunia, manusia-manusia pilihan Tuhan, mereka yang kaki-kakinya menapak bumi dan  arwahnya menjulang ke langit.  Fathimah al-Zahra, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Dua orang penghulu pemuda surga, Sayyiday syababi ahlil jannati ajma’in, Al-Hasan dan Al-Husain.



Pada hari keempat, Nabi saw  melangkahkan kakinya  yang mulia ke rumah para kekasihnya. Sudah menjadi kebiasaannya, orang-orang pertama yang didatanginya setelah perjalanannya adalah keluarga Fathimah.  Ketika ia memeluk Fathimah, ketika ia menciumi kepala Ali, Al-Hasan dan Al-Husain, semua penatnya menghilang. Senyuman mereka mengalirkan kesegaran ke seluruh tubuhnya. Wewangian mereka  meniupkan kedamaian dan ketentraman  jauh ke jantungnya yang  paling dalam.

Karena mencium semerbak Nabawi, bayi molek itu membuka kembali matanya.  “Ya bunayyah, atiinii bibnatikil mawluudah” Duhai  sayangku, berikan anakmu kepadaku!”

Nabi saw mengambil dengan lembut cucunya yang ketiga. Dirapatkannya bayi merah  itu ke dadanya.  Dengan sangat lembut, seperti jatuhnya embun dari dedaunan di waktu dini hari, pipi Nabi yang suci itu bersentuhan dengan pipinya.  Lihat, lewat sudut matanya yang agung, perlahan-lahan mengalir air mata suci, diiringi dengan isakan, yang makin lama makin keras. Air mata itu juga mengalir makin lama makin deras.

Limadza buka-uka ya Rasulallah! Kenapa engkau menangis ya Rasul Allah!”
Ya bintaah, ya Fathimah. Ketahuilah anak ini akan dihantam berbagai ujian, akan ditimpa  berbagai musibat, akan menghadapi berbagai tragedi.”

“Ya Rasul Allah, berikan nama kepadanya”
“Anak-anak Fathimah adalah anak-anakku. Aku menanti wahyu untuk menamainya!”
Dan Jibrail pun datang, ke rumah tempat persinggahan para malaikat, “Ya Rasul Allah, Allah swt menyampaikan salam kepadamu, Ia berpesan: Namailah bayi Fathimah itu Zainab.  Kami telah menuliskan namanya di Loh Mahfuzh.”

Nabi saw merapatkan bayi itu ke dadanya. Tidak henti-hentinya ia menciuminya. Kemudian ia bersabda, “Aku wasiatkan dia kepada kalian...  Wajahnya sangat mirip Khadijah.”  Suaranya menjadi parau.
Wajah Rasulullah  saw memucat sayu.  Dan butir-butir air mata itu menggelegak di pelupuk matanya.

Pada muka Zainab, Nabi saw melihat masa lalu dan masa depan. Wajah Zainab menjadi cermin ke masa lalunya. Wajah Zainab mengingatkan Nabi saw kepada istrinya  yang sangat dicintainya; kepada almarhumah yang memberikan seluruh kasih sayangnya ketika orang-orang membencinya; kepada kekasihnya yang  menghiburnya ketika orang-orang menyakitinya; kepada perempuan yang mengorbankan seluruh kesenangan hidupnya demi tegaknya agama yang dibawanya.

Wajah Zainab juga menjadi cermin yang memantulkan pemandangan pada masa yang akan datang.  Rasulullah saw melihat Zainab  mencurahkan seluruh cintanya untuk Al-Husain ketika orang-orang  memusuhinya. Ia melihat Zainab dengan  setia mendampingi Al-Husain pada saat badai bencana menimpanya. Ia melihat Zainab meninggalkan ketenangan keluarganya, membawa anak-anaknya, menempuh perjalanan  panjang menuju kematian. 

Berbeda dengan Khadijah, yang  melepaskan ruhnya yang mulia dalam dekapannya, Nabi saw kini melihat Zainab membenamkan kepalanya di atas jenazah kakaknya yang bersimbah darah.  Lalu, ia mengangkat mukanya dan tangan-tangannya yang merah berlumuran darah ke langit: ILAHI, TAQABBAL MINNA HADZAL QURBAAN. Tuhanku, terimalah korban ini dari kami!

Wajah Rasulullah saw  memucat sayu.  Dan butir-butir air mata itu menggelegak di pelupuk matanya.

***

Marilah kita putar balik arah kendaraan ini. Kita kembali kepada 100 tahun yang lalu, seribu seratus tahun yang lalu, seribu  dua ratus tahun yang lalu, seribu tiga ratus tahun yang lalu, seribu empat ratus tahun yang lalu, dan marilah kita berhenti pada ...1422 tahun yang lalu. Di manakah kita berada sekarang?

Kita masih berada di Madinah.  Pusatkan perhatianmu, arahkan penglihatanmu,  kepada  balita yang jelita. Zainab  baru memasuki usia lima tahun.  Subuh itu, Zainab bangun dengan muka yang ketakutan.
Tertatih-tatih ia menemui kakeknya. 

Walaupun Nabi saw dalam keadaan sakit, kedatangan Zainab mengalirkan darah ke wajahnya.  Ia menyambutnya dengan pelukan dan kecupan. Dengarkan baik-baik. Dari bibir mungil anak kecil itu keluar kalimat-kalimat fasih,  “Ya Jaddah, kakek, malam tadi aku  bermimpi. Angin taufan  menghitamkan seluruh bumi.  Mencekramnya dengan kegelapan. Melemparkan aku ke sana kemari. Lalu, kakek, aku lihat ada pohon besar.  Lalu, aku memeluk pohon itu,  menahan hempasan badai. Tiba-tiba angin kencang menarik pohon itu, mencampakkannya ke bumi.  Lalu, aku bergantung pada satu cabang yang kuat. Angin kencang memotong cabang itu. Aku bergantung pada cabang satu lagi.  Cabang ini pun patah. Aku lalu bergantung pada salah satu ranting. Patah lagi. Bergantung pada ranting lainnya. Patah lagi. Lalu, aku terbangun dari tidurku.”

Kakek yang penuh kasih itu menarik nafas panjang.  Menciumi kepala cucunya. “Pohon besar itu kakekmu. Cabang pertama ibumu. Cabang kedua ayahmu. Dan kedua ranting itu kedua kakakmu, Al-Hasan dan al-Husain.  Dunia akan gelap gelita karena kehilangan mereka.  Dan kamu akan  terus mengenakan pakaian duka cita  karena menangisi mereka.” Suaranya menjadi parau.

Wajah Rasulullah  saw memucat sayu.  Dan butir-butir air mata itu menggelegak di pelupuk matanya.

***

Kita  berkunjung lagi ke rumah kecil di samping Masjid Nabawi.  Kita melihat Fathimah sa bersimpuh  di hadapan  ayahnya.  Kedua pasang mata  itu saling menatap  dalam pandangan kasih  di atas semua kasih sayang antara ayah dan anak. 

Kedua pasang mata itu kemudian menatap  Zainab yang memegang erat tangan  Al-Husain, kakaknya, tak mau lepas sama sekali. “Abii ya Rasuulallah, ata’ajjab min amr Zainab, fahiya katsiirat al-irtibath bi akhiha al-Husayn. Ayah, ya Rasulallah, saya heran melihat keterikatan Zainab kepada kakaknya, al-Husain. Ia tidak bisa tenang jika belum melihat kakaknya atau belum mencium wanginya.”  

Dalam suara yang parau, ia bersabda,
يا نور عيني، ابنتي هذه سترافق الحسين إلى كربلاء وستشاركه المصائب والبلايا
“Ya nur ‘ayni, putriku ini akan menyertai al-Husain ke Karbala dan mendampinginya dalam hantaman derita dan cobaan.” 
Suaranya parau.

Wajah Rasulullah  saw memucat sayu.  Dan butir-butir air mata itu menggelegak di pelupuk matanya.

***

Pagi ini kita berkunjung lagi ke rumah yang sama sederhananya dengan rumah Zainab. Rumah Rasulullah saw. Rumah Sayyidul Anaam, yang tanpa dia tidak  akan diciptakan seluruh alam semesta. Saksikan ke atas bongkah bumi yang penuh berkah ini,  lima orang manusia suci dan seorang anak berusia lima tahun  melangkahkan kaki mereka.  Mereka serentak berkata, “Al-Salaamu ‘alaika ya Rasulallah”   

Salam itu bersambut dengan jawaban dari Rahmatan Lil’Alamin, “Wa Alaikum Salam”.  Zainab melihat kakeknya berwajah pucat dengan demam yang tidak henti-hentinya menggoncangkan tubuhnya.  Seorang demi seorang para kekasihnya dipeluknya.

Kita melihat wajah Zainab  tertutup kelabu.  Ia membisu.  Ia memegang tangan ibunya erat-erat.  Ia mendengar ibunya berkata, “Abah, ini kedua orang anakmu. Wariskan kepada mereka sesuatu.”

فداك أبوك. ما لأبيك مال فينحلهما”
“Biarlah  ayahmu menjadi tebusanmu, anakku! Ayah tidak punya harta untuk diberikan kepada mereka”  Sabdanya, sambil matanya yang mulia tidak berkedip memandangi keduanya. 

Ia memagut al-Hasan dan menciuminya. Ia dudukkan al-Hasan di pangkuan kanannya.  “Kepada anakku ini,  kuberikan akhlakku dan wibawaku”
Lalu, tangan Nabi saw yang mulia menggapai al-Husain dan meletakkannya di paha kirinya. “Kepada anakku ini, aku berikan keberanianku dan kedermawananku.” [i]

Wajah kelabu Zainab berlalu. Ia tersenyum. Ia ingat kakeknya pernah mengatakan bahwa Zainab al-Kubra mewarisi semua akhlak neneknya, Khadijah al-Kubra.  Akhlak yang diperlukan untuk mendampingi al-Husain selama hidupnya dan setelah syahidnya.  Ia memegang tangan al-Husayn lebih kuat lagi.

Sambil berbaring,  Nabiyur Rahmah, Sang  Nabi saw  yang penuh kasih ini, menatap Ali bin Abi Thalib sa, “Ya Abar Rayhanatain, wahai ayah kedua belahan nyawaku, aku wasiatkan keduanya kepadamu. Perlakukan mereka baik-baik, sebelum roboh kedua tonggak hidupmu.” 

Karena kecerdasannya,  Zainab,  Aqilah Bani Hasyim, pasti tahu bahwa yang dimaksud dengan dua tonggak  hidupnya  Imam Ali adalah  Rasulullah saw dan Fathimah az-Zahra.[ii]

Al-Husain pelan-pelan melepaskan tangan Zainab. Bersama al-Hasan, ia berjingkat mendekati Nabi saw.  Zainab menyaksikan kakeknya sedang menahan rasa sakit yang amat berat. Tapi begitu melihat kedua rayhanahnya, Nabi saw  tersenyum,  seakan semua sakitnya tidak terasa lagi,
“Biarkan aku berhadapan dengan Yazid. Terkutuklah Yazid. Ya Allah, aku serahkan Yazid kepadaMu.”
Setelah itu, ia pingsan lama. Ketika sadar lagi, ia melihat keduanya.  Ia mendekap kedua belahan jiwanya. Ia menghujani al-Husain dengan ciumannya.


“Biarkan aku dan pembunuhmu berhadapan di pengadilan Allah azza wa jalla”
Suaranya gemetar.  Wajahnya memucat sayu. Dan butir-butir air mata itu menggelegak di pelupuk matanya.

***

Kemudian insan kamil itu pingsan lagi.  Ketika terbangun, ia melihat kedua rayhanahnya masih di tempat tidurnya.  Ia melihat air mata mereka mengalir dari mata merah mereka, membasahi pipi-pipinya. Ia memagut mereka lagi, mendekapnya  dengan kuat.  Imam Ali berusaha untuk mengangkat kedua anak itu dari ranjang Nabi yang mulia.  Tapi, suara parau dan gemetar itu terdengar lagi,
“Biarkan kedua anakku bergembira bersamaku. Dan aku berbahagia bersama mereka. Karena sebentar lagi keduanya  akan menjadi sasaran kezaliman.”
Rasulullah saw pingsan lagi. Pada waktu siuman,  Zainab dan semua ahlul bait di situ mendengar orang mengetuk pintu, memohon izin masuk.
“Tahukan kamu siapakah dia?”
“Tidak ya Rasul Allah?”
“Itulah makhluk yang meramaikan penghuni kubur, yang mengosongkan penduduk kampung ,  yang memutuskan kesenangan hidup, yang memisahkan orang-orang yang berkumpul.”

Sekarang kita mendengar di rumah itu tangisan syahdu dan rintihan  pilu. Bersama ibunya, Zainab menjeritkan  dukanya:
“Duhai  malangnya kami, ditinggal Khatamul Anbiya”

Tiba-tiba tangisan itu terhenti. Kita mendengar dari bibir yang agung itu, masih dengan suara parau dan irama yang gemetar kata-kata terakhir Nabi yang terakhir:
قد خلفت فيكم كتاب الله وعترتي أهل بيتي. فالمضيع لكتاب الله كالمضييع لسنتي، والمضيع لسنتي كالمضييع لعترتي،  انها لا يفترقا حتى يردا علي الحوض  

“Aku telah meninggalkan kepada kalian  Kitab Allah dan keluargaku. Yang menyia-nyiakan Kitab Allah sama dedngan yang menyi-nyiakan sunnahku. Yang menyia-nyiakan sunnahku sama dengan menyia-nyiakan keluargaku. Keuanya Al-Quran dan keluargaku akan bertemu denganku di telaga”
Sekarang Zainab melihat ayahnya mengangkat kepala kakeknya yang lemah dan meletakkannya ke atas  pangkuannya.  Ia mengusap wajahnya yang suci. Menghadapkannya ke arah kiblat.  Ia mendengar ayahnya bergumam: Telah roboh tonggak sandaranku yang pertama, yang disebutkan Rasulullah saw.

Dengan batinnya yang bersih,Zainab melihat Malakal Maut menerima  ruh zakiyah itu dengan penuh takzim.  Jutaan malaikat, dengan terang cahaya alam malakut, dengan wewangian surgawi , mengantarkan  roh  suci itu ke arasy yang tinggi, menemui Sang Kekasih abadi.  Tinggallah di bumi, dalam pelukan para pecintanya, jasad muqaddasnya  dengan senyum indah di bibirnya. 
Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. 

Episode 2

Marilah kita putar balik arah kendaraan ini. Kita kembali kepada 100 tahun yang lalu, seribu seratus tahun yang lalu, seribu  dua ratus tahun yang lalu, seribu tiga ratus tahun yang lalu, seribu empat ratus tahun yang lalu, dan marilah kita berhenti pada ...1372  tahun yang lalu. 50 tahun setelah jasad Nabi saw didekap bumi. Di manakah kita berada sekarang?

Di tengah-tengah padang pasir, dengan terik mentari yang membakar. Lihat  puluhan orang menambatkan kendaraannya, memasang perkemahannya,  seperti mempersiapkan peristirahatan sementara.   Tiba-tiba kita merasakan semilir angin sahara.  Kali ini bukan angin yang biasa. Angin ini membawa wewangian surgawi.  Kita    melonjak gembira, seperti Nabi Ya’qub as,  yang menunggu berita Yusuf  di  batas sahara, “Inni la-ajidu riha Yusuf” , sungguh aku mencium wewangian Yusuf.

Sudah kita kenal. Ini wewangian ahlibait Nabi saw.  Kita menghirup  wewangian ini di Madinah al-Munawwarah.  Kita pernah menciumnya di Kufah.  Marilah kita hirup wewangian itu dalam-dalam. Biarkan wewangian itu masuk ke dalam sanubari kita, memuaskan kerinduan kita pada Rasulullah saw, kepada Az Zahra, kepada Ali bin Abi Thalib, kepada Al-Hasan al-Mujtaba. Mereka sudah meninggalkan kita menemui Allah ar-Rahman ar-Rahim.  Semerbak harum yang kita hisap sekarang berasal dari  keluarganya yang masih tersisa.

Dengan melacak asal wewangian itu, lihatlah ke depanmu. Pusatkan perhatianmu, arahkan pandanganmu pada cahaya-cahaya itu. Kita menemukan Zainab lagi.  Zainab kini sudah menjadi ibu, dengan dua orang anak yang dibawa serta.   Ia  mendekati Al-Husain dengan tubuh yang berguncang ketakutan,
“Kakak, aku merasakan kengerian yang besar. Lembah ini menakutkan”
“Adikku tersayang, ya ukhayyah, ketahuilah bahwa kami pernah singgah di sini dalam perjalanan kami  menuju Shiffin. Ayahku meletakkan kepalanya di paha kakakku al-Hasan, dan aku ada di dekatnya.  Ayahku tidur sejenak. Kemudian, ia bangun menangis dengan tangisan yang memilukan. Kakakku al-Hasan bertanya mengapa.
Amirul Mukminin berkata: "Aku melihat dalam mimpiku lembah ini menjadi lautan darah dan al-Husain tenggelam di tengah-tengahnya. Ia meminta tolong, tapi tidak ada yang menolongnya.”

Kemudian ayah menatapku dan berkata:
“Ya Aba ‘Abdillah, apa yang akan kamu lakukan jika peristiwa itu terjadi padamu di tempat ini”
“Ashbir wa la budda li minash Shabr” Aku akan bersabar, sabar adalah kepastian bagiku.
Mendengar itu Zainab menangis lagi! Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Al-Husain yang suci. 
Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Zainab yang mulia.

***

Sekarang ini kita berada di Karbala, pada hari kesepuluh, menjelang waktu Zhuhur.   Mimpi Imam Ali sa terbukti.  Kita melihat padang pasir itu berubah dengan cepat, dari warna coklat menjadi merah.  Potongan-potongan jenazah para syuhada berserakan bergelimpangan membentuk gelombang di atas lautan darah.   Kita mencium wewangian surgawi dari lautan  darah para syuhada.

Baru saja Zainab melihat jenazah Ali Akbar  diantarkan Al-Husain  ke kemahnya.   Baru saja ia melepas saudaranya Abul Fadhl al-Abbas, pemegang bendera, rembulan Bani Hasyim,  untuk mengambil minuman dari sungai Furat,  Ia melihat  sosok manusia yang paling dicintainya sekarang membungkuk-bungkuk mendekati kemah,  tidak henti-hentinya menyapu airmatanya dengan sobekan pakaiannya:
Wa akhaah! Wa ‘Abbasah! Wa qillata nashiraah!

Zainabnya menyambutnya di pintu kemah: Mengapa tidak kaubawa saudaraku al-Abbas?

“Ukhtaah, adikku, setiap kali.. aku mau... mengangkat tubuhnya, potongan-potongan tubuhnya berjatuhan. Satu... per satu...Aku tidak bisa mengangkutnya.”

“Duhai saudaraku...duhai Abbas.. duhai berkurang sudah pembelanya..duuuh..kau tinggalkan dia...”
“ii...wallah...sesudahnya..demi Allah..kita sendirian...Punggung ini sudah hancur..Ya Abal Fadhl..”

Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Al-Husain yang suci.   Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Zainab yang mulia.

Tiba-tiba Zainab menghentikan rintihannya. Ia mendengar  tangisan dua orang bayi kecil di kemah. Abdullah dan Ali al-Ashghar.Abdullah, saudara Sukaynah,  baru saja lahir pada hari Asyura. Zainab  menyerahkan keduanya kepada Al-Husain,agar ia mengucapkan kata perpisahan bagi mereka.

Ia mengambil Abdullah. Al-Husain maju ke pintu kemah.  Ia letakkan bayi itu di pangkuannya. Ia gumamkan doa –doa suci. Tidak henti-hentinya ia menciuminya: “Kakekmu akan menjadi musuh mereka, anakku, dan celakalah  mereka itu”

Bayi itu tersenyum. Tiba-tiba  anak panas melejit, menyobekkan leher bayi itu. Darah menyembur, membahashkuyupi paha al-Husain. Di kejauhan, terdengar gelak ketawa Harmalah bin Kahil Al-Asadi, la’natullah ‘alaih.
Ya Husainah, ya Aba ‘Abdillah, kauletakkan  Abdullah al-Radhi’ di atas tanah sahara.  Kauambil Ali Ashghar. Kauangkat dia dengan tangan kananmu. Kau kira mereka akan jatuh iba pada bayi enam bulan yang megap-megap kehausan. 
Ya Husaynah, ya Aba Abdillah.  Mereka bukan manusia. Mereka manusia kiasan. Hakikat mereka Iblis.  Lihat, Harmalah melepaskan lagi anak panah bermata tiga. Trisula  yang tajam dan beracun.  Ketiga mata anak panah itu menusuk leher, jantung, dan perut bayi  kecintaanmu.  Semburan darahnya  memenuhi telapak tanganmu.  

Ya Husaynah, ya Husaynah. Kau mendongak ke langit. Kaulemparkan darah itu, seakan menjemput hujan darah yang sebentar lagi tiba. Aaah.. tidak setetes pun darah itu jatuh ke bumi.
“Hal man dzaaba ‘an harami Rasulillah!!!” Siapa  yang mau membela keluarga Rasulullah saw.
Zainab sa menyaksikan untuk kesekian kalinya putra al-Husain tersungkur sebagai syuhada. Ia sudah menyaksikan lima orang putra al-Hasan disembelih di hadapannya. Tinggal dua orang lagi bersamanya. Al-Husain menitipkan para putra al-Hasan ke tangan Zainab.
Lihat, perhatikan baik-baik, seorang anak sebelas tahun berlari meninggalkan kemah. Anak itu Abdullah bin al-Hasan, keponakan imam Husayn. Imam Husain berteriak:  Tahan dia, ya ukhtaah! 

Zainab menyusulnya: Mengapa kau keluar anakku?
“Aku mendengar pamanku memanggilku: Siapa yang mau membela keluarga Rasulullah saw?”

Zainab berusaha memegangnya. Anak itu berusaha melepaskan dirinya: Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan pamanku.  Abdullah, 
dengan mata belianya yang bening ia melihat Abhar bin Ka”ab mengendap-endap untuk menebaskan pedangnya kepada Al-Husain. Ia meloncat: “Hai anak penjahat, apakah kamu mau membunuh  pamanku?”

Pedang itu mau menebas tubuh belia.  Abdullah menangkis pedang itu dengan tangan kecilnya. Tiba-tiba, ia melihat tangannya bergelantung. Imam Husain merapatkan tubuh kecil itu ke dadanya.
“Anakku, sabarlah atas apa yang kauderita sekarang. Aku  lihat kebaikan padamu. Karena Allah akan segera menyusulkan kamu  beserta  orangtua-orangtua kamu yang saleh”

Belum selesai Imam berbicara, sebuah anak panah memotong leher Abdullah bin Hasan.  
 Zainab keluar. Kini ia sudah melihat enam orang putra saudaranya tergeletak bergelimang darah:
“Wabna akhaah! Wa nur ‘aynah! Duhai,  sekiranya maut telah menjemputku sebelum ini!” 

Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Al-Husain yang suci.   Butir-butir airmata itu  menggenang, kemudian membanjir,  menyapu wajah Zainab yang mulia.

***

Peristiwa demi peristiwa berlalu dengan cepat. Matahari mulai tergelincir mendekati waktu Zhuhur.  Lihat, perhatikan baik-baik. Kamu lihat di kemah itu, Zainab sedang mengenakan baju perang kepada kedua putranya –Muhammad dan  ‘Awn. Ia membersihkan debu-debu yang menutup rambut dan muka mereka. Ia berikan pedang kepada keduanya. 

Ditariknya tangan kedua orang remaja itu dan dihadapkannya ke hadapan Imam Husain:
“Kakekku Ibrahim as menerima qurban dari hadirat Allah swt, seekor domba. (untuk menebus Ismail as).Terimalah kedua anakku untuk menebusmu  dengan pengorbanan mereka.  Ah, sendainya kewajiban jihad tidak dibebaskan dari perempuan, aku akan menebusmu dengan diriku seribu kali. Setiap kali aku syahid aku akan meminta seribu kali syahid lagi.”

Mula-mula Imam menolaknya.  Muhammad bin Abdullah bin Ja’far al-Thayyar maju mendekati Imam, “Sayyidi, izinkan aku untuk terbang bersama kakekku  ke surga untuk membunuh para penjahat itu”

Imam pun mengizinkannya. Zainab mengantar mereka ke luar kemah.  Ketika Umar bin Sa’ad melihat Muhammad dan ‘Awn dipersembahkan Zainab ke medan perang, ia berkata, “Kecintaan Zainab kepada al-Husain sangat mengagumkan. Ia peresembahkan kedua cahaya matanya untuk menebus saudaranya al-Husain.”

Keduanya berperang seperti kakeknya di Mu’tah. Mereka gugur. Imam Husayn membawa jenazah mereka dengan kaki-kaki yang bergelantungan menyapu tanah di bawahnya. Semua perempuan Bani Hasyim menjemputnya...Kecuali Sayyidah Zainab, Aqilah Bani Hasyim!  Ia tidak ingin kakaknya melihat air muka duka sedikit pun. Ia tetap tegak, tegar, dan sabar  menjulang seperti bukit.  Kematian kedua anaknya tidak berarti dibandingkan dengan musibah yang jauh lebih besar, musibah yang sebentar lagi akan  menimpanya.

***

Saudara, akhirnya sampailah kita pada ujung perjalanan kita, pada peristiwa targis dlam seluruh sejarah kemanusiaan. Saudara adalah saksi sejarah itu. Sekarang perhatikan baik-baik, arahkan pandanganmu pada silhuet cahaya  yang sedang menengok kemah-kemah itu satu per satu.

Ia mematung di depan kemahnya. Ia memandang ke medan peperangan. Ia melihat .... berenang dengan tubuh-tubuh yang kaku dalam banjir darah. Kini ia menyendiri. Ia menengok kemah saudara-saudaranya, para putra Amirul Mukminin.  Kemah itu kosong dan sepi. Ia menengok kemah Bani Aqil, saudara-saudara sepupunya. Ia menengok kemah para sahabatnya yang setia. Kemah itu juga kosong dan sepi.

Dari bibirnya yang suci itu kita mendengar ia mengulang zikir yang suci: La hawla wa la quwwata illa billah.  Dari kemah, kita mendengar jeritan dan tangisan.
Sesosok tubuh lemah keluar dari kemah. Ia bertelekan pada tongkat dan menarik pedangnya. Terseok-seok ia menyambut kedatangan ayahnya. Kita mendengar al-Husain berteriak: Ya ukhtaah, tahanlah dia. Supaya bumi ini tidak kosong dari keturunan Aali Muhammad!

Zainab menariknya lagi ke tempat tidurnya.  Disandarkannya tubuh Zainal Abidin ke dadanya.  Dengan suara parau dan ternengah-engah ia bertanya: Ke manakah sahabat-sahabat kita dan sanak saudara kita. Al-Husain tersentak. Kata-katanya terselak di tenggorokannya yang mulia: “Di seluruh kemah itu tidak ada laki-laki kecuali aku dan kamu. Semua sudah gugur tersungkur ke bumi.”

Tiba-tiba Ali yang sakit berkata. Kali ini dengan suara yang dikeras-keraskan: Bibi, berikan padaku pedang dan tongkat?
Ayahnya berkata: “Untuk apa keduanya itu”
“Tongkatku untuk aku bertelekan padanya. Dan pedangku untuk melindungi putra Rasulullah saw”

Al-Husain melarangnya. Ia peluk putranya untuk terakhir kalinya: “Aku tidak akan melepaskanmu untuk berperang. Engkau hujjahku untuk ahlibaitku dan syiahku. Engkau harus mengembalikan perempuan-perempuan ini ke Madinah!"

Kemudian, sambil memegang tangan Ali Zainal Abidin, Imam  berkata dengan suara keras:
Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, dengarkan pebicaraanku. Ketahuilah bahwa anakku ini adalah penerusku dan Imam yang diwajibkan atas kalian mentaatinya.  Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, ‘alaikunna minni salaam, fa hadza akhirul ijtimaa’ wa qad qaruba minkunnal iftijaa’. Salam terakhir dariku bagi kalian. Inilah akhir pertemuan. Sebentar lagi kalian akan dihempas gelombang derita.”
Kita mendengar tangisan, jeritan, raungan duka memenuhi kemah.  Ketika al-Husain mau meninggalkan kemah, Zainab bergelantung pada tangannya yang mulia: Berhentilah sebentar, ya akhi, biar aku puaskan memandangmu.

Ia menciumi tangannya dan kakinya. Semua perempuan mengikutinya, menciumi tangan dan kakinya.  Imam al-Husain menyuruh mereka menghentikan tangisannya. Ia menyentuhkan jemarinya yang suci ke dada Zainab dan melantunkan doa-doa yang pilu.  Sentuhan jemarinya memasukkan ketenangan dan kesabaran ke dalam hati sanubari Zainab.
“Tenanglah saudaraku, putra ibuku. Engkau pasti akan melihatku melakukan apa yang kausukai dan kauridoi”
Baru saja perempuan-perempuan itu masuk kemah, Zainab menyusul lagi kakaknya.  Zainab teringat wasiat ibunya, az-Zahra: Jika nanti  datang suatu hari, permata hatiku al-Husain mau maju ke medan perang, dan aku tidak bersama dia, sebagai penggantiku, ciumlah dia pada lehernya.
“Akhi tawaqqaf qaliilan hatta a’mala biwashiyyati ummi”
“Kakak, berhentilah sebentar sampai aku laksanakan wasiat ibuku”
Saksikan,  al-Husain menyerahkan lehernya untuk dicium ibunya, yang diwakili saudaranya. Leher itu pernah diciumi Rasulullah saw. Leher itu pernah diciumi Fathimah az-Zahra. Leher itu pernah diciumi Amirul Mukminin. Sebentar lagi kita akan menyaksikan leher yang sama ...leher yang sama...leher yang agung dan suci itu.. ditebas pedang.

La hawla wa la quwwata illa billahil azhim. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Menangislah saudara untuk dia yang menyerahkan lehernya pada ciuman Rasulullah dan al-Zahra. Menangislah saudara untuk dia yang mempersembahkan kepalanya untuk menegakkan agama Rasulullah saw. Menangislah untuk  dia yang meneriakkan suara umat tertindas sepnjang zaman: Jika agama Muhammad ini tidak tegak kecuali dengan membunuh aku, hai pedang-pedang tebaslah aku!

Biarkan air mata kita mengalir. Biarkan darah kita mengalir. Biarkan air mata dan darah kita bergabung dengan darah al-Husain,  dengan air mata dan darah  para putra al-Husain, dengan air mata dan darah sahabat-sahabat al-Husain, dengan air mata dan darah para syuhada yang melepaskan arwahnya di halaman al-Husain.

Ya Aba Abdillah, ‘alaiki minna salaamullah ma baqiina wa baqiyal layli wan nahaar!

Makassar, 10 Muharram 1433 H / 5 Desember 2011.
Maqtal Imam Husain as. yang ditulis dan dibacakan oleh Prof DR KH Jalaluddin Rakhmat pada acara Peringatan ASYURA Syahadah Imam Husain as.; Senin 10 Muharram 1433 H/5 Desember 2011, jam 19.00 wita di Balai Prajurit Jend. M. Jusuf (ex. Balai Manunggal) yang dilaksanakan oleh IJABI SulSel. Semoga bermanfaat

[i]  Manaqib ibn Syahriasyub 2:465; Durar al-Simthain 212; Rabi’ al-Abrar 315; lihat Baqir Syarif al-Qurasyi, Hayat al-Imam al-Husain bin Ali, 217.
[ii] Amali alShaduq, halaman 119; lihat juga kamus Lisan al-Mizan, entri “ruh”. Di situ hadis ini dikutip untuk menjelaskan kata “rayhanah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar