AL-BAQARAH (2) Ayat 13


وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَكِن لاَّ يَعْلَمُون
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana manusia (lain) beriman", mereka menjawab: "Pantaskah kami beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?" Ketahuilah, sungguh merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui.

Orang yang menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kebenaran, akan menilai orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai tidak benar. Di sinilah berawalnya egoisme (bangga diri) dan fanatisme (bangga kelompok). Kalau begitu, lalu apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? 

Tolak ukur kebenaran adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah suatu entitas yang berdiri sendiri, yang tidak membutuhkan yang lain. Kebenaran (al-Haq) itu tunggal (ahad), universal (kulli), sederhana (basith) dan meliputi (muhith). Maka Kebenaran itu tidak pernah tidak ada, karena tidak membutuhkan syarat apapun demi keberadaannya. Untuk itu, Kebenaran tidak perlu dicari, pun tidak perlu ditemukan. 

Kebenaran hanya perlu diketahui (dengan istrumen yang bernama ‘ilm atau ilmu), untuk selanjutnya disadari (dengan perangkat yang disebut syu’ur) dan dirasakan (dengan alat yang disebut dzauq). Rangkaian inilah nantinya yang membawa manusia kepada iman dan yaqin. Semua runtutan yang membawa kepada iman dan yaqin ini tidak bisa diikuti oleh orang kafir dan munafiq, karena Allah telah menutup qalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka dengan sumbat (lihat kembali ayat 7). Yang pantas bagi mereka bukan iman bukan yaqin, tapi azab yang besar (2:7) dan azab yang pedih (2:10). Itu sebabnya mereka balik menuding orang beriman sebagai orang bodoh karena tolak ukurnya adalah dirinya sendiri.


Bila kita menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata السُّفَهَاء (as-sufahā’, orang-orang bodoh) atau yang seasal kata dengannya, maka makna yang bisa difahami daripadanya ialah “ketidaktahuan” (yakni tidak punya ilmu). Sementara ilmu ini merupakan syarat pertama dan utama untuk sampai kepada tingkatan iman dan yaqin. Coba simak ayat ini: 
Benar-benar rugilah orang-orang yang membunuh anak-anaknya karena bodoh (yaitu) tanpa ilmu, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepadanya dengan mengada-adakan (dalih atau alasan yang dibuat-buat) atas nama Allah. Benar-benar mereka telah sesat dan mereka tidak (pantas) mendapat petunjuk.” (6:140) 
Ketidaktahuan atau kebodohan inilah yang mengantarkan manusia kepada penolakan terhadap kebenaran, dan bukan karena Kebenaran itu sendiri bermasalah. Dan Kebenaran itu aksiomatik (badihi), maka masuk akal jikalau al-Qur’an menyebut orang yang menolak Kebenaran sebagai “membodohi dirinya sendiri”, sebab pada hakikatnya sama saja dengan mengingkari eksistensi dirinya sendiri. 
Dan tiada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, karena benar-benar Kami telah memilihnya di dunia, dan di akhirat dia sungguh termasuk orang-orang yang saleh.” (2:130)
Ketika berbicara soal al-fāsad (kerusakan) di ayat 12, Allah mengakhiri ayat itu dengan penggalan: lā yasy’uruwn (mereka tidak menyadari). Hal yang sama ketika membincang soal “menipu Allah”, juga diakhiri dengan: yasy’uruwn (mereka tidak menyadari). 

Tetapi ketika menjelaskan tentang iman dan kebodohan di ayat 13 ini, Allah mengakhirinya dengan klausa: lā ya’lamuwn (mereka tidak mengetahui). Inilah diantara kelebihan al-Qur’an; yaitu konsistensinya menganut epistemologi yang dibangunnya sendiri. Apabila berkenaan dengan “merasakan” (misalnya) banjir sebagai dampak dari penggundulan hutan atau split personality (keterpecahan pribadi) akibat kesenangan berdusta, maka yang cocok adalah “menyadari”. 

Karena keadaan “menyadari” terjadi manakala subyek yang “merasakan” sudah bersua dengan obyek yang “dirasakan”.  Sehingga di sana tidak ada lagi jarak psikologis. Sementara kerja “mengetahui” dibutuhkan saat menguak rahasia-rahasia. Sehingga orang yang tidak “mengetahui” pada dasarnya juga tidak bisa menguak rahasia-rhasia tersebut. Lalu apa gerangan yang menutupi rahasia-rahasia itu sehingga perlu kerja “mengetahui” untuk menyingkapnya? Jawabannya: hijab kebodohan (السُّفَهَاء, as-sufahā’).

Dengan melihat penjelasan diatas, dapat dimengerti betapa berbahayanya apabila kekuasaan berada di tangan orang seperti ini. Inilah yang menjelaskan kenapa manusia dan kemanusiaan selama ini hanya menjadi pelengkap penderita belaka dari kekuasaan mereka. Yang ada hanyalah diri mereka saja. Yang lain tidak dihitung. Yang lain diisolasi, dipojokkan, diputus akses-akesnya, dengan alasan (dan dengan dicitrakan bahwa)  mereka adalah السُّفَهَاء (as-sufahā’, orang-orang bodoh). 

Maka supaya jangan termakan oleh ‘iklan murahan’ mereka, sejak awal Allah mengingatkan kita semua: Ketahuilah, sungguh merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui. Sehingga kalau kita selama ini menjadi korban kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan ekonomi-politik mereka, itu semata karena kesalahan kita sendiri yang tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai kacamata untuk melihat realitas yang berlangsung di sekitar kita. Al-Qur’an hanya diagungkan tapi tidak pernah direnungkan.

Saudaraku,

Anda boleh merasa benar, tapi jangan mudah menuduh orang lain tidak benar. Karena Anda nanti berhak disebut benar manakala sudah sampai kepada Kebenaran sejati. Dan itu hanya terjadi jikalau Anda telah “mengetahui”-Nya, “menyadari”-Nya, dan “merasakan”-Nya. Hebatnya lagi, setelah sampai di sana, Anda justru tidak lagi membutuhkan “klaim”. Karena Kebenaran tidak butuh kepada apapun dan siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar