AL-BAQARAH (2) Ayat 14

وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُونَ
Dan apabila mereka berjumpa orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Dan apabila mereka kembali kepada syaitan-syaitannya, mereka mengatakan: ‘Sungguh kami (tetap) bersama kalian, hanya saja kami memperolok-olok (mereka)’.

Ayat ini kembali menekankan dan sekaligus mengingatkan bahwa argument-argumen yang mereka gunakan sebelumnya (ayat 11, 12, dan 13) adalah bagian dari caranya menipu Allah dan orang-orang beriman (ayat 9). Bagi mereka orang beriman itu adalah adalah orang-orang yang bodoh, kerjanya hanya merusak di bumi; sementara mereka adalah orang-orang yang pintar, kerjanya membangun kehidupan manusia; dan karenanya hanya mereka sajalah yang pantas jadi penguasa, yang pantas mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam; orang beriman cukup di pojok-pojok masjid yang kerjanya sekedar beribadah kepada Tuhannya. 

Supaya cara mereka ini tidak terbaca, mereka memilih jadi bunglon: apabila bertemu dengan kawanan orang mukmin, mereka menggunakan berbagai ucapan, aksesoris dan jaket Islami seraya mengaku sebagai orang beriman. Tetapi begitu kembali ke habitat aslinya, mereka menunjukkan siapa diri mereka yang sesungguhnya: “kami hanya memperolok-olok mereka (orang-orang mukmin itu)”. Artinya, dengan ayat ini, orang mukmin—agar tidak tertipu oleh mereka—tidak perlu membuntuti ke mana mereka pergi untuk membuktikan kemunafiqan mereka. Ayat ini sudah merupakan pemberitahuan terbuka kepada orang-orang beriman agar tidak mempercayai mereka. Sekali percaya kepada mereka, niscaya akan tertipu selama-lamanya.


Di dalam al-Qur’an kita menemukan banyak sekali ayat yang membongkar kedok orang-orang munafiq. Tentu saja tujuannya jelas; yaitu caranya Allah menunjukkan cinta dan kasihnya kepada manusia, makhluk-Nya yang ketika menciptakannya Dia memerintahkan seluruh penghuni alam malakut bersujud kepadanya (2:30-34, 7:11, 15:28-29, 38:71-72). 

Allah tahu bahwa jikalau mereka berkuasa, tidak saja mengeksploitasi sumber daya alam semuanya, tapi juga mengeksploitasi sesamanya manusia. Alih-alih mereka menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, mereka bahkan menggunakannya hanya untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya demi memperkuat diri dan kelompoknya agar kelangsungan dinasti mereka tetap terjaga. ‘Iman’ dan ‘ibadah’ mereka tidak lebih dari pembungkus belaka untuk menutupi jati diri mereka yang sesungguhnya. 
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau kesenangan (duniawi), mereka bubar menuju ke sena seraya meninggalkan kamu (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: ‘Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan’, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (62:11) 
Dapat kita bayangkan, Nabi Suci itu masih sedang berkhotbah, mereka sudah pada berhamburan begitu melihat dunia beserta segala perhiasaannya untuk memenuhi hasrat materialisme dan hedonisme—agama mereka yang sesungguhnya—mereka. Dan kalau Nabi saja tega mereka perlakukan begitu, apalagi kalau cuma manusia biasa.

Ayat yang dikutip di poin di atas adalah ayat terakhir dari Surat al-Jum’ah (62). Setelah itu, di Surat berikutnya (63), Allah memperkenalkan secara rinci ciri-ciri orang munafiq, yang murni mengandalkan aspek-aspek lahiriyahnya, aspek retorika dan penampilan bungkusnya saja.
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah (pun) mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah (juga) mengetahui bahwa sungguh orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, untuk (menyembunyikan usaha keras mereka) menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian kafir (lagi) sehingga hati mereka dikunci; karena itu mereka tidak (bisa) memahami (kebenaran). Dan apabila kamu melihatnya, postur tubuh mereka menjadikanmu kagum. Dan jika mereka berbicara kamu (niscaya) mendengarkan retorika mereka. (Tetapi) mereka bagaikan kayu yang tersandar (yakni, argumennya tidak bisa berdiri tegak, kecuali bersandar pada kebohongan demi kebohongan). Mereka mengira bahwa tiap-tiap kritikan yang keras (adalah) ditujukan kepadanya. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadapnya; semoga Allah (dengan kewaspadaanmu itu) membinasakan mereka. (Perhatikan) bagaimana mereka sampai terpalingkan (dari kebenaran, padahal Rasul bersamanya)?” (63:1-4)
Yang menarik, di ayat ini Allah menyebut mereka sebagai syaitan, padahal mereka bukan jin yang bergentayangan. Bisa difahami bahwa syaitan itu tidak harus berbentuk makhluk ‘halus’. Manusia bisa jadi syaitan. Buktinya, Allah menyebut orang-orang munafiq itu sebagai syaitan-syaitan. Syaitan itu, kata Allah, adalah minal jinnati wan-nās (dari kalangan jin dan manusia, 114:6).

Maka siapapun, berpotensi jadi syaitan. Bahkan syaitan yang dimaksud al-Qur’an justru kebanyakan dari kalangan manusia. Karena, menurut al-Qur’an, syaitan itu adalah “musuh yang nyata bagi kalian” (2:168 dan 208, 6:142, 7:22, 12:5, 28:15, 36:60, 43:62). Kalau jin yang bergentayangan, tentu tidak nyata. Syaitan ini, kata Allah, adalah musuh manusia, musuh orang beriman, sehingga kitapun diminta untuk menjadikan syaitan itu sebagai musuh: 
Sungguh syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya untuk(sama-sama) menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (35:6)
Setelah Allah mengidentifikasi orang-orang munafiq sama dengan syaitan, kini menjadi jelas bagi kita kenapa mereka menjadikan agama dan orang-orang mukmin hanya sebagai barang olok-olokan atau permaian belaka saja. Allah ingin mengatakan, memilih mereka sama dengan memilih syaitan. Memilih syaitan sama dengan turut memperolok-olok dan mempermainkan agama. Turut memperolok-olok dan mempermainkan agama sama dengan turut melakukan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan. 

 Ujung-ujungnya, kelak akan bersama dengan para syaitan itu di dalam neraka yang menyala-nyala. Untuk itu Allah berpesan: 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi pemimpin yang (kepadanya) kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita tentang Muhammad dan orang mukmin), karena persahabatan(mu dengan mereka); padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu (hanya) karena kalian beriman kepada Allah, Tuhanmu…” (60:1) 
Pesan-Nya lagi: 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memilih jadi pemimpin, orang-orang yang membuat agamamu jadi olok-olokan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab Suci sebelummu, dan orang-orang yang kafir (musyrik dan munafiq). Dan bertakwalah kepada Allah jika kalian betul-betul orang beriman.” (5:57)
Saudaraku,

Kita boleh bergaul dengan siapa saja. Tetapi tetaplah waspada. Kita wajib menyelamatkan diri kita, tapi lebih wajib lagi menyelamatkan agama kita. Karena di dalam agama itulah terletak kebahgiaan dan kesejahteraan manusia dunia dan akhirat. Maka selalulah memperhatikan dengan siapa Anda bersahabat. Kata Sayyidina Ali kw, manusia dinilai dengan siapa dia bersahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar