Fathimah Sang ‘Abîdah (*)

Kisah perjuangan Fathimah adalah kisah penderitaan.
Ia membuka matanya yang pertama ketika keluarga Nabi saw digoncang oleh berbagai musibat. Ia juga menutup matanya pada waktu keluarga Fathimah dihujani musibat, yang seperti terungkap dalam puisinya, 
“Sekiranya musibat itu menimpa siang, siang akan berubah menjadi malam gelita.
Ke manakah ia mengadukan segala deritanya?

Di manakah ia mendapatkan kedamaian di tengah prahara di zamannya?

Di manakah ia melabuhkan hatinya yang hancur?”
Dari ayahnya ia belajar bahwa ia hanya menemukan ketentraman dalam ibadah, dalam zikir dan doa. Ketika tangan Fathimah melepuh karena memutar penggilingan gandum, ia datang menemui ayahnya. Rasulullah saw baru saja menerima banyak tawanan perang. Ia ingin meminta salah seorang di antaranya untuk membantunya bekerja di rumah. 

Ia tidak berhasil menemuinya. “Ketika Nabi saw datang,“ kata Ali yang mengisahkan kejadian itu kepada kita, “Aisyah menceritakan kepadanya tentang kedatangan Fathimah. Beliau mengunjungi kami ketika kami bersiap untuk tidur.

Aku bangkit untuk menyambutnya tetapi beliau berkata: Tetaplah kalian di tempat kalian.


Lalu beliau duduk di antara kami. Aku merasakan sejuknya kedua telapak kakinya pada dadaku. Beliau berkata: Perhatikan, akan aku ajarkan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang kalian minta, jika kalian sudah berbaring untuk tidur. Ucapkan takbir 34 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali. Itu lebih baik bagi kalian dari seorang pembantu.”

Tasbih yang diajarkan Nabi saw itu kelak terkenal dengan sebutan Tasbih Al-Zahra. Tasbih ini bukan hanya dibaca sebelum tidur, tetapi juga diwiridkan setiap ba’da salat. Dari Al-Zahra, kita bukan hanya menerima tasbih ini, tetapi juga banyak tasbih lainnya. Dan di samping tasbih, kita juga mewarisi doa-doa ba’da salat lainnya, yang kita sebut sebagai ta’qib. Selain tasbih dan doa, dari Fathimah, kita juga belajar doa harian serta doa untuk berbagai situasi -seperti doa hajat, doa untuk keluar dari penjara, doa untuk menolak bencana, dan doa sehari-hari lainnya.

Pada lidah Al-Thahîrah, Sang Perempuan Suci, doa bukan hanya permohonan kepada Allah. Seperti Nabi Ya’qub yang berkata, “Sesungguhnya aku adukan derita dan kepedihanku kepada Allah” (QS. Yusuf: 86), Fathimah juga menjadikan doa sebagai pengaduan, jeritan hati, dan ungkapan kerinduan. Simaklah, misalnya, doa hari Selasa:

Ya Allah, jadikanlah kelalaian manusia dari kami sebagai peringatan, dan jadikanlah ingatan mereka pada kami sebagai syukur, dan jadikan ucapan baik yang kami ucapkan dengan lidah kami sebagaimana yang ada di dalam hati kami.
Ya Allah, sungguh pengampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosa kami, dan sungguh rahmat-Mu lebih kami harapkan dari amal-amal kami.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat pada Muhammad dan keluarganya, serta anugerahkanlah kami petunjuk untuk melakukan amal baik dan amal salih.

Di samping itu, seperti para ma’shumin lainnya, Sayyidah Fathimah menjadikan doa sebagai media untuk mengajarkan ajaran Islam kepada para pendengarnya. Dalam doa dan zikirnya ia menjelaskan kebesaran Allah dan keesaaan-Nya, kasih sayang Allah dan ampunannya dengan bahasa yang jernih, sederhana, indah, tetapi mendalam. Perhatikanlah doa-doa ta’qib salat dalam buku ini, terutama doa yang harus dibaca di pagi hari (setelah salat Subuh). 

Setiap kalimat doanya dapat menjadi satu bab pelajaran Aqidah, “...bagi orang yang punya hati, memusatkan pendengaran dan ia menjadi saksi.” (QS. Qaf: 37). Menurut Sayyid Husain Fadhlullah, Fathimah juga mengajarkan prinsip kehidupan yang harus dipegang teguh oleh kaum mukminin. 

Imam Hasan menceritakan ibadat ibunya, “Aku pernah melihat ibuku Fathimah as berdiri di mihrabnya sepanjang malam Jumat. Tidak henti-hentinya ia rukuk dan sujud sampai terbit fajar. Aku mendengar ia mendoakan kaum mukminin dan mukminat sambil menyebut nama-nama mereka. Ia memperbanyak doa bagi mereka tetapi tidak berdoa untuk dirinya. Aku bertanya kepadanya: Ibu, mengapa Ibu tidak berdoa untuk ibu sendiri sebagaimana Ibu berdoa untuk orang lain? Ia menjawab: Anakku, tetangga dulu baru rumah kita sendiri!”

Al-jâr tsumma al-dâr adalah falsafah hidup Fathimah. Ia menjadikan hidupnya sebagai masa untuk berkhidmat bagi manusia. Kecintaannya kepada Al-Khaliq diungkapkannya dengan kecintaannya kepada makhluk-Nya. Tetangga dulu baru rumah sendiri. 

Di dalam doa ketika kita berkutat dalam keinginan-keinginan egoistis kita, Sayyidah Fathimah melantunkan doa-doa mulia untuk orang lain. Apa yang diungkapkannya dalam doa dipraktekkan juga dalam kehidupannya sehari-hari. Bagi Fathimah, falsafah al-jâr tsumma al-dâr bukan hanya sekedar wacana yang diomongkan kemudian dilupakan, bukan hanya sebatas pakaian yang dapat dikenakan dan ditanggalkan. Falsafah itu sekaligus jalan kehidupan yang ditempuhnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, diceritakan kisah berikut ini; Seorang A’rabi -Arab Badui- dari Bani Sulaym keluar untuk mencari air di padang pasir. Tiba-tiba ia menemukan dhab -sejenis biawak- merayap di hadapannya. Ia berjalan di belakangnya sampai berhasil menangkapnya. Ia menyimpannya di dalam kantongnya. Ia melanjutkan perjalanannya mendatangi Nabi saw. Tidak jauh dari Nabi, ia berteriak, “Ya Muhammad, ya Muhammad!”

Ketika orang A’rabi itu menyerunya ‘Ya Muhammad, ya Muhammad’, Nabi pun menjawabnya dengan seruan, “Ya Muhammad, ya Muhammad.” Sang A’rabi lalu berkata, “Engkau tukang sihir pendusta! Di bawah kolong langit ini, di atas permukaan bumi, tidak ada lidah yang lebih pembohong daripada lidahmu. Engkaulah yang mengaku bahwa Tuhan telah membangkitkan kamu di bumi ini sebagai utusan kepada orang hitam maupun orang putih. Demi Latta dan ‘Uzza, sekiranya aku tidak takut kaumku menyebut aku sebagai orang yang terburu-buru, aku akan bunuh kamu dengan pedang ini dengan satu tebasan saja!”

Umar meloncat untuk mencengkeramnya. Tetapi Nabi berkata, “Duduk hai Umar! Hampir saja seorang penyantun itu dapat menjadi nabi karena kesantunannya.” 

Kemudian Nabi melihat kepada orang A’rabi itu seraya berkata, 
“Hai saudaraku Bani Sulaym, inikah yang dilakukan orang Arab?
Mereka menyerang kami di tengah-tengah majelis kami dan mencaci maki dengan kata-kata kasar?
Hai A’rabi, demi yang mengutusku dengan kebenaran sebagai nabi, sesungguhnya dua pukulan di dunia esok hari akan menyala di neraka.
Hai A’rabi, demi Yang mengutusku dengan kebenaran sebagai Nabi, sesungguhnya penghuni langit yang ketujuh menamaiku Ahmad Yang Benar.
Hai A’rabi, Islamlah kamu supaya kamu selamat dari api neraka. Sehingga apa yang kami miliki juga menjadi milikmu, apa yang menimpa kami juga menimpamu, dan jadilah kamu saudara kami di dalam Islam.”
Orang A’rabi itu semakin marah dan berkata, “Demi Latta dan ‘Uzza, aku tidak akan beriman kepadamu hai Muhammad, kecuali kalau biawak ini beriman.” Ia lalu melemparkan biawak dari kantongnya. Ketika jatuh ke bumi, biawak itu segera melarikan diri. Nabi saw menyerunya, “Hai biawak, kembalilah kepadaku!” Biawak itu kembali sambil memandang Nabi saw.
Nabi bersabda, “Hai biawak, siapakah aku?” Tiba tiba biawak itu berbicara dengan lidah yang fasih, “Engkau Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib, bin Hasyim, bin Abdu Manaf.” Nabi bertanya lagi, “Siapa yang kamu sembah?” 

Biawak itu menjawab, “Aku menyembah Allah yang menaburkan biji-bijian dan menggelarkan ciptaan, yang mengambil Ibrahim sebagai sahabat-Nya dan memilih engkau, hai Muhammad, sebagai kekasih-Nya.”

Ketika orang A’rabi itu menyaksikannya, ia berkata, “Ajaib benar! Seekor biawak yang aku buru di padang pasir dan aku simpan di dalam kantungku, yang tidak berfikir dan berakal, tiba-tiba berbicara kepada Muhammad saw dengan pembicaraan seperti ini dan bersaksi dengan kesaksian seperti ini. Ulurkan tanganmu dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya dan utusan-Nya.” Masuklah orang A’rabi itu ke dalam Islam dan baguslah Islamnya.

Kemudian Nabi melihat ke arah sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Ajarkan kepada orang A’rabi ini beberapa surat Al-Quran.” Setelah orang A’rabi itu diajari beberapa surat dari Al-Quran, Nabi berkata lagi kepadanya, “Apakah kamu punya harta kekayaan?” Ia berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi. Ada empat ribu orang Bani Sulaym. Tidak seorang pun di antara mereka yang lebih miskin dan lebih sedikit hartanya dariku.”

Nabi menengok kepada sahabat-sahabatnya dan bertanya, “Siapa yang mau memberikan orang A’rabi ini seekor unta, aku jaminkan bagi dia di sisi Allah, seekor unta dari surga.” Lalu Sa’ad bin Ubadah meloncat dan berkata, “Biarlah ibu dan ayahku menjadi tebusanku, unta merah ini menjadi milik orang A’rabi.”

Nabi menengok lagi sahabat-sahabatnya dan berkata, “Siapa yang mau memberikan mahkota kepada orang A’rabi ini, aku jaminkan baginya di sisi Allah, mahkota ketakwaan.” Lalu Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata, “Apakah mahkota ketakwaan itu?” Nabi kemudian menyebutkan sifat-sifatnya. Ali pun melingkarkan serbannya kepada kepala orang A’rabi itu.

Setelah itu Nabi bersabda, “Barangsiapa yang memberi bekal kepada orang A’rabi ini, aku jaminkan baginya di sisi Allah, bekal ketakwaan.” Salman Al-Farisi berdiri dan bertanya, “Apa bekal takwa itu?” Rasulullah bersabda, “Hai Salman, pada hari terakhir engkau meninggalkan dunia ini, Tuhan membimbing kamu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Jika kamu sanggup mengucapkannya, kamu akan berjumpa denganku dan aku berjumpa denganmu. Jika tidak, kamu takkan berjumpa denganku dan aku pun takkan berjumpa denganmu selama-lamanya.”

Lalu berangkatlah Salman mendatangi sembilan rumah istri Nabi saw. Ia tidak mendapatkan apa pun dari mereka. Ketika ia kembali lagi, ia melewati kamar Fathimah lalu mengetuk pintunya. Dari dalam terdengar suara, “Siapa di balik pintu?” Ia menjawab, “Aku Salman Al-Farisi.” Ia bertanya, “Ya Salman, kau mau apa?” Kemudian Salman mengisahkan orang A’rabi dengan biawaknya di depan Nabi saw.

Fathimah berkata, “Hai Salman, Demi Yang mengutus Muhammad saw dengan kebenaran sebagai Nabi, sudah tiga hari ini kami tidak makan. Hasan dan Husain sudah menggigil karena kelaparan yang sangat dan tidur seperti anak burung yang kehilangan bulunya. Tapi aku tidak akan menolak kebaikan kalau kebaikan itu datang di pintuku. Hai Salman, bawalah perisai ini dan sampaikan kepada Syam’un orang Yahudi. Katakan kepadanya: Fathimah putri Muhammad minta dipinjami satu sha’ kurma dan sha’ gandum. Aku akan mengembalikan kepadanya, insya Allah.”

Ketika Syam’un mengambil perisai itu, dibolak-balikannya benda itu dalam tangannya sementara matanya berlinang air mata. Kemudian ia berkata, “Hai Salman, inilah yang disebut zuhud dalam dunia. Inilah yang disampaikan kepada kami oleh Musa bin Imran di dalam Taurat. Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya dan Utusan-Nya.” Masuk Islamlah Yahudi itu dengan keislaman yang baik. Ia memberikan kepada Salman satu sha’ kurma dan satu sha’ gandum.

Salman mendatangi Fathimah yang segera menggiling gandum itu dengan tangannya dan membuat roti. Ia berkata kepadanya, “Ambillah roti ini dan bawa kepada Nabi saw.” Salman berkata kepadanya, “Ya Fathimah, ambillah sebagian kecil untuk melepaskan lapar Hasan dan Husain.” Fathimah berkata, “Ya Salman, roti ini sudah kami persembahkan untuk Allah dan kami tidak akan mengambil sedikit pun.” Salman membawa roti itu ke hadapan Nabi dan menjelaskan apa yang dilakukan Fathimah.

Nabi sendiri waktu itu belum makan selama tiga hari. Nabi lalu berangkat menuju bilik Fathimah. Ia mengetuk pintu. Ketika Fathimah membuka pintu, Nabi saw melihat mukanya yang menguning dan matanya yang sayu. Nabi berkata, “Anakku, mengapa kulihat wajahmu menguning dan matamu sayu?” Fathimah berkata, “Ya Abah, sudah tiga hari ini kami tidak memakan makanan apa pun. Hasan dan Husain sudah menggigil karena kelaparan dan tidur seperti anak burung yang menggelepar karena kehilangan bulunya.”

Nabi mengambil salah seorang dari cucunya dan menempatkannya pada pahanya sebelah kanan dan yang lain pada paha sebelah kiri serta mendudukkan Fathimah di hadapannya. Nabi memeluknya dan masuklah Ali. Ia memeluk Nabi dari belakang. Kemudian Nabi saw mengangkat matanya ke arah langit seraya berkata, “Tuhanku, junjunganku, pelindungku, inilah ahli baitku. Ya Allah, hilangkan dari mereka segala noda dan sucikan mereka sesuci-sucinya.”

Kemudian Fathimah masuk ke tempat ibadatnya. Ia merapatkan kedua kakinya dan salat dua rakaat. Setelah itu ia mengangkat tangan ke langit seraya berdoa, “Tuhanku, junjunganku, inilah Muhammad nabi-Mu, inilah Ali putra paman nabi-Mu dan inilah Hasan dan Husain, kedua cucu nabi-Mu. Tuhanku, turunkan kepadaku hidangan dari langit sebagaimana telah engkau turunkan kepada Bani Israil. Mereka makan makanan itu tapi kemudian kafir. Ya Allah, turunkanlah makanan itu kepada kami dan sungguh kami ini orang-orang mukmin.”

Berkata Ibnu Abbas, “Demi Allah, belum habis doa itu, tiba-tiba aku melihat nampan yang di belakang menyebarkan wewangian yang lebih harum dari kesturi.”

Kemudian Fathimah membawanya ke hadapan Nabi saw, Ali, Hasan, dan Husain. Dan Ali bertanya kepadanya, “Hai Fathimah, dari mana engkau dapatkan ini semua?” 

Lalu Nabi saw berkata, “Makanlah ya Abal Hasan dan jangan banyak bertanya. Segala puji bagi Allah yang tidak mematikan aku sebelum ia menganugerahkan padaku seorang anak yang seperti Maryam binti Imran. ”Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab ia mendapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini? Maryam menjawab: Makanan itu dari sisi Allah swt. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakinya tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran; 37)

Makanlah Nabi bersama Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Setelah itu Nabi keluar. Sang A’rabi yang telah mendapatkan bekal, duduk di atas kendaraannya dan menemui Bani Sulaym yang ketika itu berjumlah empat ribu orang. Ketika ia berada di tengah-tengah mereka, ia berteriak dengan suara keras, “Ucapkan oleh kalian Lâilâha ilallâh, Muhammadar Rasûlullâh.”

Begitu mereka mendengar suara itu, mereka segera mengambil pedang dan menghunusnya sambil berkata, “Kamu sudah murtad dan memasuki agama Muhammad, tukang sihir pendusta!” Ia berkata kepada mereka, “Ia bukan tukang sihir dan bukan pendusta! Hai Bani Sulaym, sesungguhnya Tuhan Muhammad adalah sebaik-baiknya Tuhan dan Muhammad adalah sebaik-baiknya Nabi. Aku datang kepadanya dalam keadaan lapar dan ia memberikan makanan kepadaku. Aku datang dalam keadaan telanjang, ia memberiku pakaian. Aku datang sambil berjalan kaki, dan ia berikan kepadaku kendaraan.”

Kemudian ia menceritakan kisah biawak di hadapan Nabi saw, dan berkata, “Hai Bani Sulaym, Islamlah kamu supaya kalian selamat dari api neraka.” Hari itu juga empat ribu orang Bani Sulaym masuk Islam. Mereka adalah sahabat di sekitar Nabi yang membawa bendera hijau.

Seperti ajakan tokoh Bani Sulaym, kumpulan doa-doa Fathimah as disampaikan dengan diiringi seruan untuk mengikuti Fathimah bukan saja dalam mengamalkan doanya, tetapi juga dalam mempraktekkan ajarannya dalam kehidupan kita.

Dengan melantunkan doa-doa Fathimah as, kita ingin menyerap sedikit saja cahaya yang memancar dari mihrabnya. Dengan memanjatkan rintihan-rintihan sucinya, kita berharap agar Tuhan menggabungkan kita bersama sang penghulu perempuan seluruh alam, Sayyidah Fathimah ‘alaihas salam.

(*) Tulisan DR KH Jalaluddin Rakhmat

Mengenang Kelahiran Sayyidah Fatimah Zahra, Penghulu Perempuan di Semesta Alam, berikut ini sebuah tulisan dari KH DR Jalaluddin Rakhmat. Meski bukan tulisan terbaru, semoga saja menambah kecintaan kita kepada Sayyidah Fatimah Zahra. Semoga kita semua berbahagia atas kelahiran beliau, dan mendapatkan keberkahan dengan mengenang beliau.
Selamat membaca !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar