وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِين
Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir", padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.
Di titik inilah nanti manusia dimintai
pertanggung jawaban atas pilihan-pilihannya, karena di balik
kehendak-bebas tersebut—agar tidak salah pilih—Allah mengaruniakan alat
yang luar biasa: qalbu-pendengaran-penglihatan (yang telah dibahas pada
ayat sebelumnya). Sehingga, pada saatnya nanti kita melihat bahwa bukan
perbuatan manusia yang dimintai pertanggungjawaban tapi alasan kenapa melakukan perbuatan tersebut.
Tanggapan dari :
Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir", padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.
Di sini ada pengakuan dan ada penyangkalan. Diantara manusia ada
yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Tetapi Allah sendiri
yang kemudian menyangkalnya. Menunjukkan bahwa menusia ( di dunia ini)
benar-benar merdeka untuk melakukan apa saja dan mengatakan apa saja
sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Ini yang disebut free-will
(kehendak-bebas), yang merupakan karunia terbesar Allah kepada manusia,
yang tidak diberikan kepada hewan manapun.
Saking bebasnya, manusia
bisa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta sekalipun. Manusia bisa
menyebarkan kebohongan, ketidakbenaran, yang isinya tak lebih dari
provokasi, agitasi, manipulasi, dan iklan murahan. Dan supaya free-will itu bisa diterapkan, sehingga tidak hanya berhenti pada konsep, Allah pun memberikan karunia dalam bentuk free-choice
(pilihan bebas): ya atau tidak, syukur atau kufur, mengakui Tuhan atau
menolaknya, taat atau menentang.
Tetapi dibalik kehendak-bebas yang dimiliki manusia, Allah juga
punya otoritas dan prerogative untuk melakukan penilaian. Dan penilaian
Dia adalah penilaian yang benar, penilaian yang tak memiliki cacat
sedikitpun, sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan yang dimiliki-Nya.
Pertanyaannya kemudian: yang namanya penilaian pasti ada standarnya, ada
parameternya, lalu apa parameter yang Allah gunakan dalam menerapkan
otoritas dan prerogative penilaian-Nya tersebut? (Kalau parameter ini
tidak jelas, tentu Allah menganiaya hamba-Nya).
Di sini kita berjumpa
kembali urgensi Kitab Suci. Jadi selain fungsinya sebagai PETUNJUK,
al-Qur’an juga berfungsi sebagai HUKUM, yang kepadanyalah nanti Allah
merujukkan penilaian-Nya tersebut. Maka pada saat Allah mengatakan: wa ma hum bi mu’minyn (padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman),
penolakan ini sungguh tidak bersifat semena-mena, kendati itu keluar
dari otoritas dan prerogative Allah. Penolakan ini bisa dilacak
alasannya dalam Kitab Suci.
Lagi-lagi kita dipaksa kembali untuk
menyadari betapa urgennya Kitab Suci dalam hidup ini, sebelum kita
menyesal di hari dimana tidak berguna lagi yang namanya penyesalan. Dan
supaya kita mau menerima realitas Kitab Suci ini, Allah jauh-jauh
hari—sejak awal mula kita diciptakan di alam ghaib—menyimpan semacam
chips dalam diri kita untuk menerima kemutlak-hadiran Kitab Suci
tersebut. Chips tersebut berisi: qalbu-pendengaran-penglihatan, yang
dipersiapkan untuk menangkap sinyal yang datang dari-Nya.
“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (orang-orang tua) mereka dan Allah meminta kesaksian dari jiwa mereka (dengan berkata): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi (atas ketuhanan-Mu)’. [Kami melakukan itu) agar di Hari Akhir kalian (punya alasan untuk) mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (dulu di dunia) adalah orang-orang yang lengah terhadap (isi kesaksian) ini’.” (7:172)
Catatan: “orang-orang yang lengah” artinya orang-orang yang tidak memanfaatkan chips tersebut.
Yang menarik, di ayat ini Allah menggunakan kata “wa minan-nāsi” (dan diantara manusia), yang sebetulnya bisa berbunyi: “wa minkum” (dan diantara kalian) atau “wa minal a’rabi”
[dan diantara orang-orang Arab (Badui)] yang penggunaannya banyak
bertebaran di dalam al-Qur’an. Bisa kita terka bahwa maksud Allah di
sini ialah Dia hendak menetapkan keumuman free-will dan free-choice
tadi, juga keumuman alat penilaian (qalbu-pendengaran-penglihatan)
sehingga manusia bisa faham bahwasanya mereka diciptakan dengan potensi
yang sama.
Saat menciptaan hamba-Nya, Dia sudah bersikap egaliter, dan
saat menghukuminya pun Dia bersikap egaliter. Dan karena agama datang
dari-Nya, secara otomatis, agama pun sejalan dengan chips seluruh
manusia. Dan karenanya agama pun berporos pada sikap egalitarianisme
ini. Sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa ketidakadilan pun adalah
lawan frontal dari agama yang benar. Atau agama yang benar tidak mungkin
memiliki toleransi terhadap pelaku ketidakadilan.
Penyangkalan Allah terhadap pengakuan keberimanan mereka,
mengajarkan kepada kita bahwa iman itu tidak cukup dengan pengakuan.
Iman itu ialah konsistensi atau garis lurus yang menghubungkan antara
tiga titik: perbuatan-perkataan-jiwa. Cara membacanya begini: perbuatan
itu adalah refleksi dari perkataan dan perkataan itu adalah refleksi
dari jiwa. Jadi jiwalah yang menjadi awal dari semuanya, sehingga jiwa
pulalah yang berfungsi sebagai mesin pendorong dari perbuatan tersebut.
Maka kalau ada orang yang mengaku beriman tetapi pengakuannya itu belum landing di jiwanya, pada hakikatnya belum beriman.
“Wahai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (kembali) kepada kekafiran, (yaitu) di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal jiwa mereka (sebetulnya memang) belum beriman…” (5:41)
Saudaraku,
Ingatlah, lidah kita lebih terlatih daripada jiwa kita. Karena keterampilan berbicara kita mendahului 15 tahun usia akil balig kita. Maka agar keterampilan jiwa kita bisa mengejar keterampilan berbicara kita, hendaknya lebih banyak berfikir atau merenung ketimbang berbicara.
Ingatlah, lidah kita lebih terlatih daripada jiwa kita. Karena keterampilan berbicara kita mendahului 15 tahun usia akil balig kita. Maka agar keterampilan jiwa kita bisa mengejar keterampilan berbicara kita, hendaknya lebih banyak berfikir atau merenung ketimbang berbicara.
“Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya berbicara yang baik-baik (saja). Atau (kalau tidak bisa, maka lebih baik) diam.” (al-Hadits)
Tanggapan dari :
Ada beberapa hal yg sebaiknya tdk dilewatkan dengan kehadiran ayat ini :
KEMERDEKAAN BERPENDAPAT
Wallahu A'lam Bishshawab
KEMERDEKAAN BERPENDAPAT
Allah
menyampaikan ayat tersebut dlm bentuk berita atau kalimat informatif
(Information Sentence). Betapapun hal itu merupakan kualifikasi
(penilaian) atau
bahkan "judgement" (pengadilan) yang bernuansa negatif atas sebagian
manusia, tetapi Allah swt. tdk bermaksud menghentikannya. Berbeda dengan
koreksi keberimanan org Arab Pedalaman yg dilakukan secara langsung
(QS.49:14) - yg ayatnya memang bernuansa dialogis.
Pada tataran wacana elaborasi (apalagi studi banding - kajian komparatif)- setiap orang harus diberikan ruang untk berpendapat dgn menerapkan mekanisme komunikasi dan interaksi yang brmuatan argumentasi. Sedangkan pd tataran kebutuhan personal - dengan pemusatan pilihan (hasil free choice) tdk boleh dibiarkan mengambang, justru perlu penegasan agar mereka mendapatkan kepuasan atas kebenaran yg mereka butuhkan
Dengan ayat 8 S Al Baqarah, Allah mengajarkan kpd manusia agar senantiasa memberikan "ruang bebas" kpd setiap orang untuk menyatakan pendapat dan pikirannya, termasuk ketika muatannya adalah penentangan atas kebenaran Al Qur'an. Pernyataan yg salah atau penentangan atas kebenran Al Qur'an tdk semestinya dilawan dengan mobilisasi massa atau penggunaan kekuasaan atau kekuatan kolektif atas nama "pemberangusan" ketidakbenaran. Krn hal ini bkn hanya tdk akan menawarkan pemahaman yg jernih ttg kebenaran, melainkan bhkn bisa melahirkan sakit hati yg boleh jadi akan berdampak pd perencanaan balas dendam yg akan melahirkan permusuhan berkelanjutan. Padahal, dgn kehadiran kebenara - Al Qur'an sbg petunjuk, antara lain dimaksudkan, agar manusia bisa merasakan kententeraman dan kedamaian dalam kebaikan, bukan untuk melahirkan permusuhan (QS.05:02).
Setiap pernyataan yg mengandung kesalahan atau penentangan atas kebenaran sebaiknya diarahkan kpd "hujjah kebenaran", sehingga khalayak akan menjadi penilai yg jujur, adil dan bertanggungjawab. Allah swt. menginginkan tumbuhnya sikap "fairness" bahwa dalam menyampaikan kebenaran perlu mengedepankan proporsionalitas (kewajaran) dan kesetaraan (equality), sehingga penentangan kebenaran akan dihadapai dgn memanfaatkan segenap instrumen logika, argumentasi, silogisme ,dlsb, sampai akhirnya yang bersangkutan (penentang) memahami kebenaran apa adanya dan menerimanya sebagaimana mestinya (QS.16:125)
Kebenaran dijunjung tinggi bukan dengan mempertontonkan adanya penentangan atas kebenaran - apatah lagi pelaku keslahan - akan tetapi dengan mengedepankan karakter kebenarannya sendiri sehingga setiap org yg berpikir obyektif dan berhati jernih dengan sadar akan menerimanya.
SEKULARISASI GAGASAN
Pd QS.02:08, Allah tdk hanya menegaskan adanya "ruang bebas", tetapi sekaligus menekankan pentingnya pembenargunaan (bukan penyalahgunaan)-nya
Dgn adanya "ruang bebas" itu, maka tdk sedikit manusia memosisikan dirinya pada sebuah titik nilai (point of value) tertentu dan pada saat yang sama mencoba menempatkan Tuhan pd titik nilai yang lain dan berbeda sama sekali. Tanpa sadar merka melakukan polarisasi (pengutuban), di mana dirinya dan Tuhan 'ditempatkannya' pada dua titik kutub yg berbeda dan sekaligus berlawanan.
Ini adalah sebuah sekularisasi - pemisahan nilai dan diri dari Tuhan - yg boleh saja diramu dalam kemasan gagasan sosilogis, pikiran dan statemen. Dgn menyalahgunakan ruang bebas tadi, bahkan tdk sedikit manusia yg menyatakan bahwa kebenaran Tuhan adalah tatanan yg cukup berlaku pd wilayah ketuhanan (Teosentrik), yg tdk semestinya diekspansikan ke dalam atau diterapkan pada wilayah kemanusiaan (antroposentrik).
Dgn kalimat yg berbeda, tdk sedikit yg mengatakan bahwa "Bgmn mgkn kita melakukan aturan Tuhan sepenuhnya, tokh kita ini manusia, bukan malaikat"- atau negeri ini kan bukan "negara Islam', sekalipun pd belahan dunia yg lain ' yg seolah diakui negara islam", jg setali tiga uang - sami mawon.
PUPUK KEMANUSIAAN
Sebaliknya, bagi org yg sudah menyerap kebenaran Al Qur'an sbg petunjuk dlm kehidupan, betapa pun ayat 8 S Al Baqarah itu berbentuk informatif, tetap saja kehadiranyya dirasakan sbg kalimat dialogis yg senantiasa memicu kesadaran evaluasi diri - sejauh mana proses tumbuh kembang kulaitas kemanusiaan berlangsung setelah menyerap kebenaran Al Qur'an sbg petunjuk. Karena sadar betul bahwa "Innallaaha khabiirun bimaa ta'maluun" - Sesungguhnya Allah sangat dalam pengetahuan-NYA atas apa2 yang engkau kerjakan (QS.59:18) - sehingga ayat 8 itu menjadi pupuk pertumbuhan kualitas kemanusiaan.
Pada tataran wacana elaborasi (apalagi studi banding - kajian komparatif)- setiap orang harus diberikan ruang untk berpendapat dgn menerapkan mekanisme komunikasi dan interaksi yang brmuatan argumentasi. Sedangkan pd tataran kebutuhan personal - dengan pemusatan pilihan (hasil free choice) tdk boleh dibiarkan mengambang, justru perlu penegasan agar mereka mendapatkan kepuasan atas kebenaran yg mereka butuhkan
Dengan ayat 8 S Al Baqarah, Allah mengajarkan kpd manusia agar senantiasa memberikan "ruang bebas" kpd setiap orang untuk menyatakan pendapat dan pikirannya, termasuk ketika muatannya adalah penentangan atas kebenaran Al Qur'an. Pernyataan yg salah atau penentangan atas kebenran Al Qur'an tdk semestinya dilawan dengan mobilisasi massa atau penggunaan kekuasaan atau kekuatan kolektif atas nama "pemberangusan" ketidakbenaran. Krn hal ini bkn hanya tdk akan menawarkan pemahaman yg jernih ttg kebenaran, melainkan bhkn bisa melahirkan sakit hati yg boleh jadi akan berdampak pd perencanaan balas dendam yg akan melahirkan permusuhan berkelanjutan. Padahal, dgn kehadiran kebenara - Al Qur'an sbg petunjuk, antara lain dimaksudkan, agar manusia bisa merasakan kententeraman dan kedamaian dalam kebaikan, bukan untuk melahirkan permusuhan (QS.05:02).
Setiap pernyataan yg mengandung kesalahan atau penentangan atas kebenaran sebaiknya diarahkan kpd "hujjah kebenaran", sehingga khalayak akan menjadi penilai yg jujur, adil dan bertanggungjawab. Allah swt. menginginkan tumbuhnya sikap "fairness" bahwa dalam menyampaikan kebenaran perlu mengedepankan proporsionalitas (kewajaran) dan kesetaraan (equality), sehingga penentangan kebenaran akan dihadapai dgn memanfaatkan segenap instrumen logika, argumentasi, silogisme ,dlsb, sampai akhirnya yang bersangkutan (penentang) memahami kebenaran apa adanya dan menerimanya sebagaimana mestinya (QS.16:125)
Kebenaran dijunjung tinggi bukan dengan mempertontonkan adanya penentangan atas kebenaran - apatah lagi pelaku keslahan - akan tetapi dengan mengedepankan karakter kebenarannya sendiri sehingga setiap org yg berpikir obyektif dan berhati jernih dengan sadar akan menerimanya.
SEKULARISASI GAGASAN
Pd QS.02:08, Allah tdk hanya menegaskan adanya "ruang bebas", tetapi sekaligus menekankan pentingnya pembenargunaan (bukan penyalahgunaan)-nya
Dgn adanya "ruang bebas" itu, maka tdk sedikit manusia memosisikan dirinya pada sebuah titik nilai (point of value) tertentu dan pada saat yang sama mencoba menempatkan Tuhan pd titik nilai yang lain dan berbeda sama sekali. Tanpa sadar merka melakukan polarisasi (pengutuban), di mana dirinya dan Tuhan 'ditempatkannya' pada dua titik kutub yg berbeda dan sekaligus berlawanan.
Ini adalah sebuah sekularisasi - pemisahan nilai dan diri dari Tuhan - yg boleh saja diramu dalam kemasan gagasan sosilogis, pikiran dan statemen. Dgn menyalahgunakan ruang bebas tadi, bahkan tdk sedikit manusia yg menyatakan bahwa kebenaran Tuhan adalah tatanan yg cukup berlaku pd wilayah ketuhanan (Teosentrik), yg tdk semestinya diekspansikan ke dalam atau diterapkan pada wilayah kemanusiaan (antroposentrik).
Dgn kalimat yg berbeda, tdk sedikit yg mengatakan bahwa "Bgmn mgkn kita melakukan aturan Tuhan sepenuhnya, tokh kita ini manusia, bukan malaikat"- atau negeri ini kan bukan "negara Islam', sekalipun pd belahan dunia yg lain ' yg seolah diakui negara islam", jg setali tiga uang - sami mawon.
PUPUK KEMANUSIAAN
Sebaliknya, bagi org yg sudah menyerap kebenaran Al Qur'an sbg petunjuk dlm kehidupan, betapa pun ayat 8 S Al Baqarah itu berbentuk informatif, tetap saja kehadiranyya dirasakan sbg kalimat dialogis yg senantiasa memicu kesadaran evaluasi diri - sejauh mana proses tumbuh kembang kulaitas kemanusiaan berlangsung setelah menyerap kebenaran Al Qur'an sbg petunjuk. Karena sadar betul bahwa "Innallaaha khabiirun bimaa ta'maluun" - Sesungguhnya Allah sangat dalam pengetahuan-NYA atas apa2 yang engkau kerjakan (QS.59:18) - sehingga ayat 8 itu menjadi pupuk pertumbuhan kualitas kemanusiaan.
Wallahu A'lam Bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar