Memberikan penilaian tidak diperkenankan bagi seseorag yang tidak dikaruniai oleh Allah dengan sifat-sifat kesucian batin, ketulusan, baik dalam tindakan-tindakannya yang tersembunyi maupun terlihat dan suatu bukti dari Tuhannya dalam setiap keadaan.
Hal itu karena siapapun yang memberikan penilaian berarti telah membuat keputusan, dan keputusan itu baru sah jika diridhai oleh Tuhan dan oleh bukti_Nya.
Barang siapa bersikap bebas dalam penilaiannya, tanpa melakukan penyelidikan yang semestinya, ia adalah orang yang bodoh dan akan ditegur karena kebodohannya serta akan dibebani dengan penilangnya sebagaimana yang dinyatakan dakam hadis: Ilmu ibarat seberkas cahaya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati siapapun yang Dia kehendaki.
Nabi Saw. bersabda, "Yang paling berani di antara kamu dalam menilai adalah ia yang paling kurang ajar terhadap Allah".
Tidakkah hakim itu mengetahui bahwa ia merupakan orang yang berdiri di antara Allah dan hamba-hambaNya dan bahwa ia melayang-layang di antara surga dan neraka?
Sufyan ibn 'Uyaynah berjata, "Bagaimana mungkin ada orang lain dapat mengambil manfaat dari pengetahuanku jika aku sendiri telah menyangkal manfaatnya?"
Adalah tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan penilaian tentang apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan di antara segala ciptaan, kecuali bagi seseorang yang menyebabkan masyarakan di masanya, di desanya dan di kotanya, untuk mengikuti kebenaran melalui kepatuhan kepada Nabi Saw, dan yang mengetahui apa yang dapat diterapkan dari penilaiannya.
Nabi Saw. bersabda, "Karena memberikan penilaian merupakan suatu masalah yang sangat penting, yang di situ tidak ada tempat untuk 'semoga', 'barangkali', atau 'mungkin'".
Amir Al'Mu'minin berkata kepada seorang hakim "Tahukah kamu perbedaan antara ayat-ayat Al-Quran yang membatalkan (nasikh) dan yang dibatalkan (mansukh)?" "Tidak".
"Berarti kamu telah binasa dan menyebabkan orang lain binasa pula," sahut Amir Al-Mu'minin.
Seorang hakim perlu mengetahui berbagai makna Al-Quran, kebenaran jalan kenabian (nubuwwah), tanda-tanda batin, kesopan-santunan, persetujuan dan pertentangan, serta mengetahui secara benar dasar-dasar dari apa yang mereka setujui dan tidak mereka setujui. Lalu ia juga harus dapat membedakan secara tepat, bertindak terpuji, bijaksana, dan waspada. Jika ia memiliki sifat-sifat tersebut, maka bolehlah ia menjadi hakim.
Hal itu karena siapapun yang memberikan penilaian berarti telah membuat keputusan, dan keputusan itu baru sah jika diridhai oleh Tuhan dan oleh bukti_Nya.
Barang siapa bersikap bebas dalam penilaiannya, tanpa melakukan penyelidikan yang semestinya, ia adalah orang yang bodoh dan akan ditegur karena kebodohannya serta akan dibebani dengan penilangnya sebagaimana yang dinyatakan dakam hadis: Ilmu ibarat seberkas cahaya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati siapapun yang Dia kehendaki.
Nabi Saw. bersabda, "Yang paling berani di antara kamu dalam menilai adalah ia yang paling kurang ajar terhadap Allah".
Tidakkah hakim itu mengetahui bahwa ia merupakan orang yang berdiri di antara Allah dan hamba-hambaNya dan bahwa ia melayang-layang di antara surga dan neraka?
Sufyan ibn 'Uyaynah berjata, "Bagaimana mungkin ada orang lain dapat mengambil manfaat dari pengetahuanku jika aku sendiri telah menyangkal manfaatnya?"
Adalah tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan penilaian tentang apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan di antara segala ciptaan, kecuali bagi seseorang yang menyebabkan masyarakan di masanya, di desanya dan di kotanya, untuk mengikuti kebenaran melalui kepatuhan kepada Nabi Saw, dan yang mengetahui apa yang dapat diterapkan dari penilaiannya.
Nabi Saw. bersabda, "Karena memberikan penilaian merupakan suatu masalah yang sangat penting, yang di situ tidak ada tempat untuk 'semoga', 'barangkali', atau 'mungkin'".
Amir Al'Mu'minin berkata kepada seorang hakim "Tahukah kamu perbedaan antara ayat-ayat Al-Quran yang membatalkan (nasikh) dan yang dibatalkan (mansukh)?" "Tidak".
"Berarti kamu telah binasa dan menyebabkan orang lain binasa pula," sahut Amir Al-Mu'minin.
Seorang hakim perlu mengetahui berbagai makna Al-Quran, kebenaran jalan kenabian (nubuwwah), tanda-tanda batin, kesopan-santunan, persetujuan dan pertentangan, serta mengetahui secara benar dasar-dasar dari apa yang mereka setujui dan tidak mereka setujui. Lalu ia juga harus dapat membedakan secara tepat, bertindak terpuji, bijaksana, dan waspada. Jika ia memiliki sifat-sifat tersebut, maka bolehlah ia menjadi hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar